Posts

Showing posts from 2006

USIA 39

Image
debu cuma debu di depan-Mu Tamansari Manglayang, 25 Desember 2006

SEPUCUK PESAN PUTIH

serpih doa yang bersih rindu pada ibu takzim pada bapak Pasir Tanjung, Cariu, 24 Desember 2006, 12:36

SEPUCUK PESAN KELABU

ini siang sungguh debu gelombang lenyap satu-satu usai blip blip sinyal satu strip cuaca sungguh abu-abu hujan kalut, petir karut frekuensi tersaput kabut : engkau lindap atau mengendap Taman Kliningan, 19 Desember 2006, 16:43

SEPUCUK PESAN BIRU

ini pagi yang aneh suara biru menyeru : panggilan kecilmu ini hari yang ganjil pagi yang terlampau dini siang teramat cepat terlipat jadi potret 3 x 4 tapi, ini sore yang janggal bayang-bayang begitu enggan bergoyang sepucuk pesan biru memanggilmu : nama kecil itu Taman Kliningan, 19 Desember 2006, 09:07

SEPUCUK PESAN JINGGA

Image
— Sendja ini senja yang sungguh duka kota tercelup linang cahaya tercenung di tepi jendela, engkau merapal sajak tak bisa menyiah jingga Tamansari Manglayang, 18 Desember 2006, 21:12

SEPUCUK PESAN UNGU

ini pagi yang sungguh rindu seperti langit mendung yang kugulung jadi sepucuk pesan ungu yang entah apakah selalu kau tunggu Rancaekek-Cibiru, 18 Desember 2006, 07:32

MENGGAMBAR HUJAN

— untuk Zara mari sayang, menggambar hujan biarkan krayonmu menari : merah, kuning, hijau merah sumringah, kuning berdenting, hijau mengimbau mari sayang, menggambar hujan biarkan jarimu berjingkat : garis dan lengkung garis hati yang lurus lengkung sikap yang lapang mari sayang, menggambar hujan biarkan khayalmu bebas bersayap : melangit lepas 28 Nov-16 Des 2006

SUARA SEPATU ANAKKU

Image
: Fathia Ramadina, 1996 nyit nyit, suara sepatu anakku berjinjit tak kenal henti kaki ringan wajah riang terkenang-kenang nyit nyit, suara sepatu anakku di taman bekas hujan kaki basah wajah sumringah terbayang-bayang nyit nyit, suara sepatu anakku masa depan terhampar kaki tegar wajah segar dalam doa, terulang-ulang Taman Kliningan, 15 Desember 2006, 09:17

TENTANG KARIB

— teringat Lord Byron tentang karib dialah kekasih yang datang tanpa sayap di punggungnya 7 Desember 2006; 11:05

TENTANG BAHAGIA

tentang bahagia serupa tetes hujan pertama ditimang di telapak tangan pengembara yang dahaga 7 Desember 2006; 11:01

TENTANG CEMBURU

tentang cemburu bukanlah warna ungu seperti yang rasanya kita kenal dulu 7 Desember 2006; 10:54

TENTANG SEPI

tentang sepi: ketika engkau membalik punggung, dinihari kekasih telah pergi 7 Desember 2006; 10:52

TENTANG KECEWA

tentang kecewa itulah rasa cabar hati yang tawar melewati sekian sabar 6 Desember 2006; 10:2 7

TENTANG RINDU

tentang rindu adalah sejenis perih menoreh uluhati menginterupsi mimpi-mimpi 6 Desember 2006; 10:20

TENTANG HARU

tentang haru ia serupa seberkas ngilu ketika angin menerabas sela pintu membelai anak rambutmu 6 Desember 2006; 10:11

TENTANG JANJI

tentang janji simpanlah sebagai janji menanti ditepati 1 Desember 2006; 08:43

TAMAN RAHASIA

aku menantimu di sana : taman rahasia kita menulis bimbang, luka, bahagia menoreh tanda-tanda kalau-kalau engkau tiba aku menantimu : di taman rahasia kata menakar sepi menafsirkan bunyi kalau-kalau engkau tak jadi pergi aku menantimu, cintaku : di taman rahasia kata, taman rahasia kita ataukah aku tetap sendiri dan kita tak pernah bersama Taman Kliningan, 5 Desember 2006

HENDAK KE MANA

Casino Royale atau Black Dahlia Bandung Super Mall atau Parijs van Java hendak ke manakah kita? Taman Kliningan, 29/11/06, 10:04:21

DI PUNGGUNG JEMARIMU

di punggung jemarimu aku melukis jalan-jalan mungil di bawah gerimis naik-turun pada setiap mili pori-pori ingatan yg terbuka : karena hujan di punggung jemarimu aku menggambar payung warna-warni serupa kanak-kanak yang riang menemukan lagi krayon yang hilang di punggung jemarimu aku berselancar ke ujung pelangi : “lucu, tadi malam aku mimpi main hujan bersamamu” Taman Kliningan, 28 November 2006, 14:36:17

SISYPUS

Image
mungkin bukan engkau tetapi akulah Sisypus yang mengusung sepi ingin miliki teman berbagi berharap tak mati iseng sendiri Bandung, 16 November 2006, 21:42

RENGGANIS

— terkenang Situ Patengan kesepian yang seumpama lumut kau biarkan membalut batu hatimu yang dingin kesetiaan yang serupa akar beringin menghunjam makin dalam agar pucuk-pucuk rasa sayang tumbuh kian lebat dan subur duka yang seluas telaga sepi dari masa ke masa kau cucurkan untuk sang ksatria yang tak kunjung pulang (dan penantianmu tak jua usai) Rengganis, dewiku yang setia mengertikah sang ksatria akan hati yang seperti magma diam serupa api terbekam sekam sampai kapan Bandung, 3 November 2006, 16:42

PENGHUJUNG RAMADHAN

Image
kota yang lengang penghujung Ramadhan orang-orang sudah pulang ke negeri kebahagiaan menghirup kebisuan malam penghujung Ramadhan ke mana gerangan aku akan pulang? sedang di sini aku kerasan di negeri penuh keharuan di gigir subuh penghujung Ramadhan hanya kepada Engkau aku ingin pulang berserah diri di negeri keampunan Manglayang, 19 Oktober 2006/27 Ramadhan 1427 H, 19:15

MEMANDANG LAUT

laut pasang laut surut bagai hati yang terpaut Jum’at, 6 Oktober 2006, 10:18

DI MEJA MAKAN SIANG

— Tea, E, El memesan seporsi tentram dan segelas jus keriangan aku menguliti sepiring gamang apa yang hendak kita santap lagi siang ini? seserpih masa silam remah-remah kenangan ataukah cerita yang belum lagi selesai engkau mengerat sepenggal hening membaginya secuil-secuil denganku : eh, selera yang sama rupanya ("selera yang baik buat seusia kita mesti kurangi lemak sedapat-dapatnya bisa bikin jadi pelupa") ketika pelayan datang aku menyantap seporsi tentram : ah, tentunya akan kurang bukankah sudah kubagi pula denganmu ("memang, baik juga saling berbagi asal jangan kelewatan," katamu) lalu siang pun beranjak petang dengan sisa-sisa jus keriangan yang takkan terbawa pulang aku pun berbisik pada pelayan : gerangan apa yang dapat kami bawa pulang? ("apa saja, tuan," katanya "asal jangan kebohongan") Kamis, 28 September 2006, 12:49

INTERLUDE

Image
— Oey memang hanya cemburu yang mampu merenggutku dari kabut yang bersaput rindu Jum’at, 22 September 2006, 19:30

PERCAKAPAN DENGAN REA

ke mana saja engkau, Re? lama berdiam seribu basa, pagi-pagi tak lagi menyapa gerangan apa yang meresahkanmu, terpenjara mencari batas antara rasa sayang dan cinta, tak usahlah kau gelisah, karena sempadan itu tiada, melebur seperti udara yang kita hela ke mana saja engkau, Re? rindu kudengar dendangmu kala petang, tentang dongeng kenangan, yang meninabobo langit malam dengan tentram gerangan apa yang membuatmu terluka, terjebak di antara ketulusan dan rasa setia, tak perlulah kau kecewa, karena semua demi kebaikan semata berbisik sajalah, Re, kirimkan pesan-pesanmu, yang setenang air telaga, agar dapat kita berlayar di dalamnya, dengan rasa nyaman dan bahagia bernyanyi sajalah, tak usahlah kau terluka dan kecewa, karena dunia memang sungguh tak sempurna Jl. Karawitan, Rabu, 13 September 2006, 10:25

PEREMPUAN

perempuan yang menuntun rindunya ke meja-meja makan, berapa banyak yang telah ia tawan dan terpikat pada racun hidangan perempuan yang mengusung kecewanya ke pesta-pesta, berapa banyak yang telah ia hantarkan dalam kemabukan perempuan yang membawa sepinya ke lautan, berapa kapal yang telah ia hanyutkan dan hempaskan ke karang-karang? 7 September 2006

PESAN 6

betapa nyeri mengatakan yang tak ingin dikatakan betapa sakit mengenangkan yang tak ingin dikenangkan 7 September 2006

PESAN 5

airmatamu yang kuyup di wajahku dapatkah digantikan dengan sekadar serpih kesetiaan yang coba kita rangkaikan bersama 7 September 2006

PESAN 4

biarkan rasa kecewa, kepedihan, dan airmata menjadi pupuk bagi jiwa agar kelak tumbuh di atasnya pohon kebaikan bagi semua 7 September 2006

PESAN 3

mudah-mudahan ada kebenaran dari hati dan mulutku yang semuanya dari Tuhan maaf untuk kesalahan pastilah milikku semata kekurangmengertian 6 September 2006

PESAN 2

maaf, rasa sayangku padamu telah hilang kau penggal kemarin petang ingin sekali kukatakan: tak pernahkah kau bisa belajar! 6 September 2006

PESAN 1

maaf, tak kuasa berkata-kata belum lagi sembuh dari luka 4 September 2006

NYANYIAN AGUSTUS

di kaki hujan kemarau berserah tanahku yang layu segar sudah Karawitan, 30 Agustus 2006

YANG PALING PERTAMA

— kado untuk Yoen Ts. maaf, bila cintaku terlalu berlumur kata-kata dan suatu ketika kau sebut itu dusta belaka ingin sekali, hanya kupeluk rindumu dalam sepi seperti ketika pertama berjumpa aku terjerat senyum yang terkesima cinta kini telah jadi prosa diguncang bimbang diguyah resah gelisah jadi sembilu karena janji yang disepuh mimpi untuk itu, kekasih kukenang selalu jumpa yang paling pertama ketika aku terpesona pada wajahmu yang tersipu menyimpan cinta yang tak ternyana puisi saja Manglayang, 16 Agustus 2006

PELABUHAN KECILKU YANG TENANG

pelabuhan kecilku yang tenang mata yang teduh tempat berlabuh 16 Agustus 2006

PESAN KERINDUAN

kerinduan yang kau torehkan di angka-angka kalendermu menggurat-gurat dinding kamar mendendangkan cinta yang silam melalui jendela, kau petik kenangan yang mengepakkan sayap senantiassa kau seduh dalam bejana bersama kristal airmata yang jatuh tak sengaja lalu pesan-pesan pun kau terbangkan ke segenap penjuru mengetuk semua pintu ke masa lalu wahai, perempuan yang rindu mengapa tak kau tenun berkas-berkas dukamu menjadi sehampar setia seperti yang diajarkan Ibu Hawa kepada kita Manglayang, 8-16 Agustus 2006

KESETIAAN

ingin aku mewarisi cinta Ibu Hawa ketika menanti Adam di Jabal Rahmah seribu tahun penantian diseduh dengan airmata seribu tahun kesetiaan dibasuh dengan duka dapatkah kau percaya? Bandung, 7 Agustus 2006

RINDU

di mana gerangan hendak kau simpan rindu? di balik sinar mata yang sayu di belakang senyum yang tersipu berterusteranglah padaku Bandung, 4 Agustus 2006

SETELAH ASYAR YANG TENANG

setelah asyar yang tenang jemari pun kutadahkan ke langit bersih cemerlang Tuhan, betapa sederhana dan bersahaja rasa bahagia Bandung, 28 Juli 2006

PANTAI AIRMATA

— Pangandaran setelah tsunami, Senin, 17 Juli 2006 bagaimana lagi kau kan kukenang setelah laut berderak dan ombak menyapu ingatan membanjiri hariku yang tenang dengan badai airmata bagaimana lagi kita dapat menyisir pantai sementara tawa yang dipatri di butir-butir pasir terhumbalangkan oleh dukalara belai ombak pun telah menjadi murka bagaimana binar matamu bisa terbayang kala tangis membekap kulit lokan pelataran karang lengang seusai petang bagaimana lagi kau kan kukenang, sayang dengan sepenuh rasa suka setelah duka demi duka menyusuti negeri yang bahagia Bandung, 18 Juli 2006

KAMPUNG HALAMAN

jalan yang kukenal, jalan yang kuhapal menuntunku pulang setiap kelokannya persinggahan hati yang berkelana setiap pal adalah khayalan bagi jiwa yang kesepian jalan yang kukenal, jalan yang kuhapal kuselusuri tanpa tanya tak jua waktu mengubahnya kekal semata dalam kenangan 5 Juli 2006

MOMEN BIASA

kita berpandangan cuma menakar rasa cinta menebak dalam rindu senyummu tawar engkau mengenang siapa? tawaku hambar siapa bisa mengukur setia? 2 Juli 2006

EPILOG

jangan kau biarkan diam menjadi kelam dan kemarahan jatuh menjadi hujan Bandung, 29 Juni 2006

PESAN KESEPIAN

kesepian yang kau bisikkan pada angin terkabarkan juga pada daun terdengar pula oleh embun dan ketika kutatap kaca jendela pagi-pagi ia pun sampai pula padaku maka kukirim rasa sayang menumpang udara pagi yang tenang agar tak lagi kau ungkap rahasia sepimu pada angin yang janjinya tak bisa kau pegang 18 Juni 2006

TELAGA RINDU

di telaga rindumu yang berkabut jangan biarkan aku tersesat dan berlayar dalam takut 18 Juni 2006

KAMPUNGKU CIMEKAR

Image
di kampungku Cimekar angin bergetar mengalir di lembah-lembah sisi rumah mengajak menari bunga-bunga rumput meluruhkan melati di tepi pagar gunung Manglayang di batas pandang menjulang hijau ketika hari baru menjelang dan cahaya membasuh daun-daun dengan sayang di kampungku Cimekar bunga-bunga selalu segar airnya dingin mengiris tulang anak-anak bermain hingar tak pernah kehilangan ruang Manglayang, 14 Juni 2006

DOA MALAMKU

dapatkah Engkau terima sujudku yang sederhana sekadar airmata Manglayang, 14 Juni 2006

TELEPON TENGAH MALAM

setelah kuderingkan jiwamu yang pualam lalu diam “selamat malam, sayang” Bandung, 12 Juni 2006

SMS DINIHARI

— Taufan Hidayat terkirim pada dini hari sisa-sisa sujud kita mengembun di dalam diri diterima menjelang pagi menyemangati hari-hari yang kini makin tak pasti 1 message received: — bersihkan hati singkirkan ragu usirlah marah buanglah takut getar yang berdengung pada dinihari membangunkan hati Bandung, 23 Mei 2006

DI BAWAH BULAN PURNAMA

— zara dan zifa... anak-anak yang berlarian di halaman terpesona pada bulan purnama bertanya tak henti-hentinya mereka mengerti rindu yang seperti sembilu menuris hatiku Bandung, 14 Mei/5 Juni 2006

SEKUNTUM SAJAK

— diskusi pagi dengan istriku sekuntum sajak yang bertunas di taman hatiku diselimuti matahari kasih disirami hujan sayang sekuntum sajak yang mekar di taman jiwaku tanahnya dukalara pupuknya airmata sekuntum sajak yang gugur di taman cintaku catatan dalam buku harian warisan bagi anak-anakku Bandung, 1 Juni 2006

USIA

usia yang melenggang di sudut mata saat pesta tak hendak kita menyapanya sementara yang menyala di tengah sukacita hanyalah fana meleleh sirna tak bersisa pun yang tertinggal di ujung meja remah-remah dukalara cuma sedetik dahaga, bukanlah baka! hanyalah doa, doa saja yang terkesima memeluk kita dalam cinta-Nya Bandung, 22/30 Mei 2006

SMS PAGI

old wood best to burn old wine to drink old friends to trust old authors to read — Bacon Bandung, 30 Mei 2006

CUPLIKAN BUKU HARIAN

apalagi yang lebih berarti bagi kapal kecil dengan cita-cita melayari samudera-samudera; selain mimpinya tentang pelabuhan berair tenang, penambat tali dari besi, dan jangkar yang dilabuhkan? apalagi yang tersisa bagi pengembara dengan harapan yang berlarian ke delapan penjuru; selain khayalnya tentang rumah yang tenteram dan seorang yang menuntun ke pintunya Bandung, 10 Oktober 1991/29 Mei 2006

ANTARA DUA HATI

pergi atau kembali? Manglayang, 25 Mei 2006

MENULIS LAGI SAJAK

menatap bunga yang bermekaran dan cericit burung beterbangan dalam derai hujan tipis-tipis kutemukan lagi kenangan dan cinta remaja yang setia dalam surat dan buku harian yang terbengkalai : wahai, betapa murninya! menatap tangkai hanjuang yang menguning dan luruh di halaman rumah angin gunung mengalir dedaun menggigil seperti bayi mungil kuhayati kesepian dan duka tangis dan harapan tak terjengkal cita-cita belum tergenapkan angan-angan yang mengimbau : wahai! Bandung, 23 Mei 2006

BERANJAK DEWASA

— Tia, Nea, Bia pernah kami bayangkan, anakku kau beranjak dewasa tak lagi dibuai, tak bisa ditimang tak sudi dibelai, tak mau disayang tapi, cinta kami pedoman, anakku yang selalu menuntun ke tujuan memandu di laut kehidupan doa kami angin buritan yang membelai pundak kapal mengantarmu ke dermaga pelabuhan harapan Manglayang, 18 Mei 2006

CINTA REMAJA

ingin kukubur cinta remaja kutancapkan nisan : selarik puisi tapi, betapa sangsi melepaskan bayang kenangan alangkah bimbang melambai tangan di jendela perpisahan telah kukubur cinta remaja kubasuhi dengan airmata : sebaris pengakuan tapi, alangkah sangsai! Karawitan, 3 Mei 2006

BUNGA

—Yoen Ts. yang kusemai dahulu di taman kesunyian berbungalah sudah wanginya selalu mengalir dari sela jendela yang kutanam sebagai janji tumbuhlah jua mengarungi masa semerbaknya senantiasa mengetuk pintu kamar kita Bandung, 18-25 April 2006

PERCAKAPAN DEWASA

— Mey “bukankah mengenang masa lalu itu lucu,” katamu (delapan belas tahun sudah tapi cahaya mata itu masih juga tak berubah) aku menghidu bau madu: “bisa lucu, bisa syahdu,” kataku “bisa juga seperti disayat sembilu” tapi kita punya kepedihan sendiri-sendiri melambai dari balik tirai sukacita melenggang dari balik tawa ceria masing-masing miliki kesedihan tak terkecuali yang tak ‘kan terpupuri basa-basi apatah lagi kemarahan dan emosi “tapi mengapa sukar sekadar bertukar kabar,” katamu lagi (delapan belas tahun berlalu rasanya mata itu tetaplah seperti dulu) aku kenangkan kidung Sunda suatu ketika: “mungkin karena kita tak pernah bisa dewasa,” kataku “terperangkap dalam bubu prasangka” tapi kita punya ingin sendiri-sendiri yang menggapai tak hendak henti tak peduli kini, tak hirau di sini pun hasrat kita ngembara ke belantara mana saja setia walau tak pernah dewasa apatah cuma diikat buhul biasa “senangnya bisa bersahabat dan tertawa bersama,” katamu beranjak lalu (delapan belas tahun

DARI JENDELA RUMAH SAKIT

sinar yang merembes dari jendela rumah sakit seperti ingin memeluk kau yang tepekur dalam setia tertegun dalam doa sayup-sayup mengelus kuduk: “Maka, nikmat mana lagi yang hendak kamu dustakan?” cahaya yang menembus atap-atap kaca seperti ingin mendekap kau yang terisak dalam gulana terpana dalam pinta samar-samar angin berbisik: “Maka, nikmat mana lagi yang akan kamu dustakan?” dan cahaya yang tiba dari jendela itu bagi kita senantiasa berarti cinta-Nya RSAI, 22 Agustus 2005

PERJALANAN 7

— Rathausplatz... segelas kopi hangat musim gugur yang indah dingin tak sampai tulang tapi hatiku membeku wajahmu bercengkerama di antara pelancong yang lalu kubayangkan kita berdua betapa inginnya segelas kopi hangat menjadi dingin rindu tak sampai, selalu Oktober 1996

NYANYIAN KEBON KACANG

— kisah flat Kebon Kacang suatu malam: dalam acara agustusan batu-batu berterbangan dari tangan anak-anak usia belasan teriakan hingar dan tantangan memecah perkampungan empat lantai “keluar! keluar yang merasa jagoan!” aku tertegun di sebuah pojok blok sekian, lantai anu, nomor tertentu (nomor rumahku) sendiri dan kesepian takut kehilangan keramahan : bagaimana jika bocah-bocah belasan dengan begitu gampang beradu kekerasan? suatu malam: dekat 17 agustusan sirine polisi meraung dan kekacauan buyar tinggal sisa-sisa keributan: pecahan botol, piring-piring pedagang nasi, cairan minuman, dan ceceran darah dari luka kawan sepermainan Jakarta, Agustus 1993

DOA ISYAKU

jadikan aku hamba-Mu yang tahu memilah waktu peredaran bumi dan matahari-Mu berikan aku kegairahan matahari dan bertebaran di muka bumi-Mu di bawah cahaya cinta-Mu yang abadi anugerahkan aku ketenangan malam-malam-Mu kenikmatan istirahat dan sujud-sujud malamku dalam lindungan cinta-Mu yang abadi Bandung, 13-12-92

DOA ZUHURKU

ampunkan aku atas zikirku yang terbata Jakarta, 11-12-92

RUANG TAMU YANG SEDERHANA

bertahun tak menjumpainya sebuah foto keluarga dalam bingkai bambu adalah kekayaannya kaca televisi dua puluh empat inci dan pot-pot bunga plastik — serta gelas air isinya anggrek yang segar warnanya saksi keindahan ruangannya bebek-berenang dari batu guci warna daunnya kekekalan kenangannya bertahun tak menjumpainya ruang tamu yang sederhana itu tetap saja tak berubah susunan benda-benda, warna segar anggreknya semuanya tetap sama seperti ketika ibu menyusunnya Palembang, 23 April 1991