Posts

Showing posts from 2007

PERCAKAPAN 31 DESEMBER

kakak, kau tak tulis sajak? Citamiang, 31 Desember 2007; 08:43 PS: Selamat Tahun Baru 2008.. Mengundang "kakak-kakak" semua untuk menyelesaikan bait pertama sajakku di atas. Senang sekali kalau mau mengirimkan hasilnya ke readys2001@yahoo.com. Salam Sapto melanjutkan bait pertama sajak di atas menjadi: PERCAKAPAN 31 DESEMBER kakak, kau tak tulis sajak? tapi kataku dihapus ulah komulus sisanya terbakar dan diterbangkan gulita Lina melanjutkan sajak di atas menjadi: PERCAKAPAN 31 DESEMBER Kakak, kau tak tulis sajak? Kau tahu, Kak! aku bisa tertawa karena sajak aku juga bisa menangis karena sajak terima kasih, Kak! kau telah membuatku jatuh cinta pada sajak! Steven Kurniawan menulis begini: PERCAKAPAN 31 DESEMBER kakak, kau tak tulis sajak? adik ingin menunggu tahun baru di bawah langit sajakmu terbayanglah kembang api selalu merekah kembali di tahun baru sebuah puisi langit begitu terang berkilau juga gemintang adik terpukau lalu bilang: kakak, kau tak tulis sajak?

SEJUMLAH TEMPAT, BAYANGANMU SEKELEBAT

Image
/1/ Bandara di gerbang mana engkau menunggu? sudah kukenakan rindu agar tak salah bila engkau menjemputku /2/ Cisangkuy alangkah bergairah: kata alangkah indah: kita /3/ Kafe sejak kapan kita saling terpikat? aku tak ingat, katamu kenanganku pun telah lama sesat, kataku Lalu, apa rindu ini perlu? /4/ Kamar aduhai, percakapan yang berderai hingga fajar tak ingin kupergi lagi ingin di sini, abadi /5/ Kawah apa yang kucium selain dendang parfum: uap belerang melayang setumpuk catatan — sungguh hanya satu perjumpaan /6/ Kereta aku berangkat, kakak ke sebuah negeri tempat gelisah tak ada lagi di manakah itu, adik? ingin pula negeri itu kukunjungi ah, maafkan kakak aku terlelap tadi /7/ Laut luasmu tak ingin kuduga dalammu tak hendak kukira /8/ Pantai apa yang terukir selain risalah pasir dan kepiting berlari menyisir? /9/ Rest Area mungkin kamu cuma singgah atau istirah tapi, tak ada alasan untuk tak setia, bukan? /10/ Rumah Tingkat tetap saja hampa denganmu aku tak jua berjumpa /11/ Toko B

CANDLE LIGHT DINNER

makan malam pun tak jadi anggurnya basi lilinnya pun sudah mati 14 Desember 2007

SEBIJI SAWI

—Kang Ajip 70 Tahun ada yang berkata: bunga mimpi lalu puisi engkau berkata: dari puisi kupetik sebiji sawi mari: tanam sebiji sawi betapapun esok mungkin mimpi Manglayang, 9 Desember 2007; 16:45

BERSAMA SENJA

: meminjam senja Jokpin akhirnya dapat juga kami minum teh bersama di tepi jendela senja sedang cantik-cantiknya habis mandi setetes air masih turun di anak rambutnya kami yang bahagia menyaksikan sebait kenangan favorit lengkungan jembatan di kejauhan (sepasang kekasih berlarian dalam hujan cantik-manis seperti dalam klip lagu Peterpan) akhirnya dapat juga kami makan malam bersama di ruang yang lengang sepasang kursi yang jenjang senja sedang indah-indahnya habis sembahyang sekristal air turun di sela-sela sisa sujudnya kami yang sukacita berkilah dari hidup yang rumit menumpang pedati yang berderit (sekelebat ingatan bertemperasan halus-lembut macam lirik lagu Eagle) akhirnya, senja dapat juga kita berpeluk-mesra sebagai orang dewasa yang cintanya selalu meremaja Manglayang, 20 November 2007—9 Desember 2007; 09:02

BUKU BARU: ALBUM BUAHHATIKU Sepilihan Sajak 1991-2007

Image
ALBUM BUAHHATIKU Sepilihan Sajak 1991-2007 Penerbit Paramaarta Maju, Bandung Cetakan I, November 2007 Tebal 72 hlm., Rp 17.500 Pesan ke e-mail: readys2001@yahoo.com

TRAVELING WESTSIDE

Image
— ke negerisebrang.multiply.com Rini di kejauhan kemah Indian senja baru saja datang di suatu tempat di Arizona tengah perjalanan ke New Mexico dalam remang kueja: “Post Office” “dunia tak begitu luas lagi agaknya” cuma selembar peta maya kita bisa berkirim apa saja atau makan siang bersama kakilima di Albuquerque siang sedang panas-panasnya tak beda dengan Yogya kita pernah berkeliaran di sana “tak begitu lampau rupanya” Historic Route 66, No Parking 2 AM-6 AM jalannya bersih, aspalnya pun rata kereta kuda dan bendera Amerika “aku pernah di sana” berfoto di depan bangunan western di perumahan Jakarta Grand Canyon tak begitu tampak beda di Ciamis pun ada, dibaca: Gren Kenyon “kapan-kapan kuajak engkau piknik ke sana” Citamiang, 16 November 2007; 12:47

HUJAN BULAN NOVEMBER

It would take a strong, strong wind to take me from your arms again to take me from your side… (“Strong, Strong Wind”, Air Supply) Hujan bulan November yang rusuh. Hatiku yang rapuh? Tercampur angin yang riuh rendah, kudengar dentuman Axl Rose di jendela ketika telusuri lubuk matamu, kutemukan cinta tertahan, terbendung-buntu tetapi kekasihku, saat kupeluk engkau, tidakkah kau tahu, padaku ada rasa yang satu?*) Hujan bulan November gemuruh, tetapi pelukanmu kukuh Dihantam angin yang riuh, engkau tangguh, “Ini cinta, sejatikah... Sungguh?” (maka bila kau tetap ingin mencintaiku, kekasih kumohon sungguh, o jangan berjeda mencintaiku, atau haruskah kuakhiri perjalanan, dalam lebat November hujan sedingin-dinginnya) Tapi engkau bukan hujan November yang buruk, engkau angin yang lembut (“Karena itulah semua ingin kau renggut?”) (Karena tak akan pernah ada yang tak berubah dan kita sama kita tahu, hati pun mudah guyah dan o betapa susah-payah menjaga lilin nyala dalam dingin November hujan s

SEUMPAMA PENGEMBARA

Image
Ada yang tak terseberangi dalam hening. Gema yang melompong di lautan hampa. Terayun-ayun ombak yang tenang, gemintang seperti peta yang benderang. Tetapi kapal, engkau tak tahu tujuan. Hendak kau turutkan hati lautan yang gemuruh di kedalaman, tetapi terbuai sudah engkau akan ketenangan permukaan. Hendak kau kabarkan debar jantung samudera yang terdengar hingga ke benua-benua. Tetapi engkau pasir dihalau gelombang, cuma menari seperti garistangan sudah disuratkan. Ada yang tak terkatakan dalam bening. Desir suara angin di lembah yang melandai. Bulan purnama seperti menggambar jejak para pengembara yang lenyap suaranya. Para petualang, di titik di manakah engkau gerangan? Hendak menapaki jejak suara hujan, tetapi begitu jauh cakrawala hijau di pasir panas yang terbentang. Hendak mencari suara samar, tapi badai gila mengamuk sepanjang zaman. Ada yang tak terseberangi dalam hening. Ada yang tak terkatakan dalam bening. Citamiang, 31 Oktober 2007, 15:30; 16 November 2007, 12:54

PERCAKAPAN SAAT MAKAN

Sebentang wilayah telah kau petakan di meja. Lalu, engkau aman berkata, “Mari kita makan.” Sesekali tanganmu menerobos sempadan, tak peduli padaku yang senyum-senyum sopan. “Yang itu kurang bumbu, yang ini kebanyakan cabai, yang anu kurang adonan...” Ah, yang manakah dalam hidupmu yang tepat takaran? Selembar cerita panjang-lebar kau hamparkan di meja. Lantas, engkau senang tertawa, “Menurutmu bagaimana?” Aku hanya seorang kawan makan yang terpesona, pikiranku entah ke mana. Maka kujawab saja, “Ah, memang begitulah manusia.” Mula-mula engkau tertawa, lalu tersedak soto daging yang kebanyakan cabainya. “Kamu, gila. Ceritaku itu tentang peliharaan Si Anu.” Aku tersengat aroma tauco, tak mau kalah kata, “Ah, kucing juga manusia.” Sehampar dongeng antah-berantah kau tunjukkan dari laptop. Tergelak-gelak engkau bersendawa, “Menurutmu siapa?” Aku hanyalah teman duduk yang bijaksana, tenang tanpa cakap yang membahana, “Apa-siapa-mengapa, apa peduli kita?” Engkau tarik napas, tak sepenuhnya le

PAGI MANGLAYANG SUATU KETIKA

Anak-anak, ke mana mereka akan mencari? Berselendang kabut dari bukit-bukit, mereka turun ke kota yang basah. Gunung-gunung di jauhan hijau-putih, udara masih begini bersih. Ada suara, ingatkah engkau kepada, embun pagi bersahaja, yang menemanimu sebelum cahaya? *) Kini, sesudah cahaya. Mereka teruskan mencari embun yang sirna oleh gemuruh asap dari kota-kota. Lalu mantel mereka terhembus badai panas pepohonan yang rubuh-rusuh. Anak-anak yang riang, senandungnya di bukit-bukit yang meriang. Hanya tersampir sedikit kenangan dari musim hujan, bekas kabut seperti ulat bergelayutan di dahan-dahan alpukat. Kini, apakah cahaya. Jalanan setapak menuju ozon yang rusak. Mereka bertanya, “Ozon? Pelawak dengan kumis cepak?” Hahaha.. Ada gelombang menyelinap menembus asap, perjalanan sunyi, yang kau tempuh sendiri... kuatkanlah hati, cinta... *) Anak-anak, di manakah mereka? Kabut berselendang asap turun ke kota yang basah. Apartemen-apartemen di jauhan seperti gula-gula warna-warni. Di ujung jala

MITOLOGI RAGU

Setelah kesekian pertemuan, kulihat jalan bercecabang di lidahmu. Onak dan duri yang kau sebar di airmatamu telah membuat cedera hatiku. Hendak ke mana kau bawa aku, adik. Negeri gelap bernama nyeri ataukah ranah benderang bernama mimpi? Telah kusemai benih-benih yang khianat dalam surat-suratku pagi hari. Merintis jalan yang kepayang, dusta tak kepalang. Katamu, “Apa salahnya, sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa." *) Tapi adik, kita bukan lagi sepasang kanak-kanak yang riang. Kenanganlah yang menjebak kita di wilayah gamang. Dan engkau bersikukuh tinggal, tak hendak pergi dari masa silam. Manterakah yang kau taburkan di gelasku petang itu? Sekujur jiwaku tersengat ragu, racun masa lalu yang kau seduh untukku. Lalu sebuah cumbuan maut di pundak, tinggalkan merah dadu di hatiku. ‘Kan kutemani engkau, adik. Tak kan kutinggalkan engkau hingga malam menetes di mesin waktu. Dan kentongan para

CIREMAI

— bagi: RTH menatap puncak, angin menggerutu di pundakku masih jauhkah lagi perjalanan? “entahlah, seperti tak kulihat ujung pencarian kita” tetapi, alangkah gagah engkau melangkah di depan sana sekian halangan cuma debu yang kau tepis lalu alangkah tegar keyakinan yang ingin kau pandu menatap puncak, dingin menghancurleburkan sisa-sisa laskar kita berapa jarak lagi menuju pelangi? “entahlah, tak kulihat selain fana” Kuningan, 12 September 2007; 14:50
Image
Aneh, kita semua mempertahankan kesalahan lebih berani daripada membela kebenaran (Khalil Gibran, dari Gibran for SMS , Dikumpulkan dan Dipilih oleh Ready Susanto, Penerbit Mataair, Bandung, 2006) MENGUCAPKAN SELAMAT IDUL FITRI 1428 H Mohon Maaf Lahir dan Batin

REST AREA

Biar kutemani engkau istirah dari perjalanan yang lelah, hidup yang hibuk. Menatap jalanan yang terpanggang panas, dunia kita semakin memendam cemas. Masih bisakah kita meneruskan ziarah, ketika panah-panah penunjuk arah demikian samar disergap aspal yang menguap? Biar aku duduk saja di sini, di tepian janji yang selalu kuharap sejati—hei, terlalu jauhkah aku untuk menepati? Biar kita sekadar bertukar mimpi, merayapi ranting-ranting waktu dengan sepi. Menyusuri jalan-jalan cuaca bersama, menggerinyaikan serpihan syair lama. Dapatkah kita melanjutkan perjumpaan ketika petang datang dan semua akan kembali kepada malam? Di kejauhan gerumbul pepohonan semakin gelap dan kerdil karena jarak dan waktu yang rumpil. Biar kita bercakap tentang matahari yang kini surup di balik lengkung jembatan. Bayang-bayang memanjang seperti kaki kursi yang jenjang. Kutahu kisah-kisah tak hendak usai, seperti semburat jingga yang terus bergoyang. Tapi kau pun tahu, di perempatan waktu kita harus bersimpang jal

NONG DI SEBUAH TITIK

Di sebuah titik, Nong, ruang berpendar. Engkau lupa berulang tahun hari ini? Anakmu tersipu-sipu menggoda, Ibu ulang tahun ya? Engkau tertawa, di rumah ini selalu ada hadiah yang istimewa, sekristal bening cinta . Kami setuju, semua yang terkembang dan celoteh kita hanyalah cinta belaka. Di sebuah titik, Nong, waktu memudar. Kita duduk berdua, bertatap saja, lalu percakapan ringan selembut udara. Terdengar suara jingga, anakmu berlagu, Tidurlah, selamat malam, lupakan sajalah aku.*) Lupakan, lupakan segala yang jauh dan samar. Kita bahagia, seperti sekuntum senyum, dikulum ketika beranjak tidur. Di sebuah titik, Nong, ruang-waktu bergetar. Wajahmu beriak, aku tahu hatimu berkecipak. Aha, inikah jejak cinta! Engkau pun beranjak, Berhentilah menjebak, kakak.. Di sebuah titik, Nong, semesta cinta-Nya terus bergerak. Manglayang, 16 Agustus 2007 ----------- *) Bait lagu “Bersama Bintang” dari kelompok Drive.

MITOLOGI LUPA

Telah kutorehkan janjiku di sekujur langit pagi. Karena takut awan membawanya pergi, kusimpan salinannya di dahan-dahan matahari. Maka kupesankan, putarlah genta jam, agar menggaung selalu ruang ingatan di rongga kepalamu. Tetapi, adik, apa kau kata? Alangkah ringan lupa mengembus, dan semua lenyap bahkan matahari terhapus. Jam cuma berdenting, ingatan hanya menggaung, tak tercatat apa-apa dalam risalah kepala. Sementara aku di sana duduk, mencoba menemukan catatan matahari. Ke mana gerangan lupa menerbangkannya, padahal awan sebegini biru kanvas, angin sebegini sepoi. Kapal berlayaran, laut begitu tenang, tapi hatiku.. Lalu aku menunggu, berusaha meringkas mitologi janji. Yang kutemukan cuma lupa, lupa, lupa dan lupa. Dan dari lautan matahari engkau melompat, menyobek risalah janji. Apa hendak kau kata, adik? Dengan sukses kau tulis mitologi lupa, dengan hebat kau torehkan mitologi luka. Manglayang, 17 Agustus 2007, 17:35

DALAM SAKIT

tubuhku daun luruh menggigil fana jiwaku tumbuh seluruh menggapai cinta Manglayang, 11 Agustus 2007, 19:56

DI HATIKU KAU BANGUN SEBUAH KOTA

Di hatiku kau rintis setapak jalan, cinta yang mengembang. Sejarah berada di gerbang ketika engkau datang. Kafilah-kafilah pun bersinggahan, jejak telapak kaki dan roda pedati. Lalu kau olah hatiku jadi sawah ladang, kasihmu pun kian mekar. Bulir-bulir padi seperti intan bagi peradaban. Hendak kau lupakan perburuan-perburuanmu yang liar sebelum pagi menjelang. Di hatiku telah kau tancapkan tiang peradaban, batu demi batu monumen rasa sayang. Desa-desa muncul seperti cendawan, gerimis menyuburkan gairahmu untuk menetap di hatiku. Pagi berderap dalam ternak yang kau gembalakan di padang-padang hijau rumput kesetiaan. Di hatiku lalu tumbuh bangunan-bangunan tinggi akarnya menyerap keriangan di seluruh pori-pori. Hatiku terluka ketika jalan setapak berubah jadi jalan bebas hambatan. Kota telah mencuri kasih sayang dari engkau, wahai tertegunlah dalam sesal di sebuah simpang kemajuan. Di hatiku kau bangun sebuah kota. Di jiwaku pula telah kau ukir luka. Citamiang, 3 Agustus 2007, 08:23; Man

PERNAHKAH KAU TAHU KEMATIAN

pernahkah kau tahu kematian seperti mimpi kecil yang menyentak tidur kapas putih terbang tersandera angin petang “tibakah saatmu untuk pulang?” pernahkah kau tahu kematian angin petang berkumandang udara beriak dengan puji-pujian malam pun pasti datang “entah purnama atau kegelapan” pernahkah kau tahu kematian suara-suara dedaunan luruh bersahut-sahutan “duhai, adakah kata lain selain kehilangan” TBB, 30 Juli 2007, 17:00

DI LAPANGAN VOLI

di medan permainan bola nasib bergulir di garis takdir Manglayang, 14 Juli 2007, 18:00

SEPI BERDENTING

— dari sajak Menoel sepi berdenting senyap begitu nyaring Citamiang, 11 Juli 2007, 16:36

SELAMAT PAGI MELANKOLI

selamat pagi melankoli, kutinggalkan engkau sendiri di pesta sunyi di mana sepi berdebat hebat dengan angin gerimis menikam juni dengan jarum api selamat pagi melankoli, kutitipkan sebaris sajak dalam nyanyian senyap di mana lagu mencumbu irama bunga menjerat rama-rama selamat pagi melankoli, kusibak telaga airmata dengan selendang yang engkau kenakan ke pertemuan cinta dan harapan Cit amiang, 28 Juni 2007, 11:23

SIUL YANG MERUNTUHKAN TEMBOK!

Image
Oleh: Hasan Aspahani Sepucuk Pesan Ungu (Dua Kumpulan Sajak) Pengarang: Ready Susanto Penerbit: Bejana & Semenanjung, Bandung, 2007 Tebal: 80 halaman Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahiJakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu?"Klaus Meine, Scorpion," katamu. Wind of Change berkumandang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh, katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyeberanginya demi cinta. Seperti kita. (Album Lama: Jakarta-Bandung) Saya telah awali tinjauan ini dengan petikan bait (atau paragraf?) pertama dari sajak lima bait ini. Ini salah satu sajak yang langsung saya sukai dari buku kumpulan puisi Ready Susanto, penyair kelahiran Palembang (1967) yang kini bermukim di Bandung ini. Cerita tentang si aku yang menjemputmu (dengan sebuah tanda seru, sebagai isyarat girang? Atau tegang?) itu lantas dialirkan dengan amat lembut. Pemandangan dari jendela bis: mimpi, pinus di halaman sekolah yang kering, ragu, pertan

BUKU BARU: SEPUCUK PESAN UNGU

Image
Penerbit: Semenanjung bekerja sama dengan Penerbit Bejana Terbit: Mei 2007 Tebal: 80 halaman Harga: Rp 18.500,- Pesan via pos ke: penerbit_semenanjung@yahoo.co.id atau readys2001@yahoo.com

JEJAK SENJA

tetap tak jua kumengerti senja kecil yang sederhana begitu damai ia jatuh di hati kita alangkah jauh kenangan-kenangan itu mengalun melintasi sawah-sawah yang basah gerimis yang jatuh ke sekian kalinya tetap tak dapat kumengerti cinta mungil yang bersahaja begitu dalam ia jatuh di jiwa kita alangkah hebat suara-suaramu berkelebat melalui petang-petang sejarah kabut pagi kemarau yang jatuh tiba-tiba Jl. Galunggung, Mei 2007

JEJAK HUJAN

telah kuikuti jejak-Mu dalam hujan tikungan demi tikungan jalan demi jalan ke mana gerangan kaki langit menggamit kemarau? Citamiang, 20 Juni 2007, 12:04

WILAYAH KENANGAN

: Poemsession denganmu /1/ Alangkah manis cinta , katamu. Waktu kubacakan tentang mawar putih yang kusemat di dahi dan tersipu. Matamu kelam memeluk ingatan (di seberang manakah?). Alangkah pahit , katamu. Waktu kudendangkan kesedihan yang jadi hantu hari ini. Matamu kolam, tak jemu aku memancing di sana. Seekor ikan telah masuk bubu rindu (di tepian manakah?). Alangkah indah pelangi , katamu. Merahnya seperti rona pipi anak kita, jingganya serupa warna tawa. Inikah bahagia? Engkau mengangguk pada langit, cakrawala begitu sigap berganti warna (di kanvas manakah?). Alangkah masam , katamu. Dusta yang kita sesap diam-diam hingga kepayang. Dan matamu lubuk yang dalam, tak sudah-sudah aku menyelam. Awas tenggelam! kata seekor angsa yang terjebak teratai di kolam (di taman manakah itu gerangan?). /2/ Alangkah lincah kata-katamu terbang, bagai kupu-kupu ungu terpikat bunga manja: ikan di taman melayang, kata berenang, kupu-kupu masuk bubu angsa melukis di rona pipi anak kita, cakrawala te

WILAYAH DEBU

Kita, siapa atau apa? “Kita tak bernama, kakak,” katamu. Cuma sepasang debu semesta. Disatukan rindu di permulaan waktu. Ketika atom pertama meledak dan semesta pecah. Bahkan manusia tak ada, masih dalam rencana. Kita, siapa atau apa? “Kita tak bernama, adik,” kataku. Cuma uap rindu yang mengepul, mengembang bersama semesta. Aku di tapal batas ini, engkau di sempadan sana, terpisah miliaran tahun cahaya. Dan manusia, ia gelisah menalar kita. Ingin membuat kapal cahaya, menyatukan kita seperti di awal rindu. O, betapa tak tersentuh semesta-Mu. Sinyalmu begitu redup disekap planet, bintang, dan galaksi. Tertabrak supernova, tersedot lubang hitam, compang-camping menerobos lubang cacing. Tapi ia tiba juga, seperti sepucuk berita dan dering genta sepeda pengantar pos. Kita, di mana atau ke mana? Kita, di mana atau ke mana? “Kita tak terpeta, kakak,” katamu. Cuma senoktah zarah angkasa. Ditahbiskan cinta di awal semesta. Menanti dunia mengerut ke titik mula. Ketika atom terakhir berpeluk me

WILAYAH MENDUNG

: Pagi murung dengan istriku... Bahkan wajahmu tetap saja rembulan bagiku. Meski pagi mendung, kabut merundung. Kristal waktu jatuh seperti bulir-bulir padi, bernas serupa emas. Pagi ini takdir menerobos lewat genting kaca, matahari yang tersengal, seperti engkau di situ yang terpenggal. Kau adukan semua pada airmata. Dan aku, dapatkah aku setabah gunung batu? O, sayangku, cintaku, kekasihku. Betapa dingin waktu. Ia menerobos kamar tanpa ketuk pintu. “Masih terlalu pagi untuk murung,” kataku. Tapi bagaimana aku dapat sembunyikan ragu. Matamu basah, gemuruhnya jatuh ke muara-muara. Rambutmu luruh, lambaiannya jauh ke ngarai-ngarai duka. Betapa sendunya waktu, kekasihku. “Masih terlalu pagi untuk mendung,” kataku. Tapi bisakah aku memenjara kecewa? Memendamnya ke sebuah lubang hitam, menghimpitnya jadi zarah atom semesta. Dan suatu ketika ia meledak jadi semesta baru yang hanya cinta. Ah, betapa menyiksanya menunggu, kekasihku. “Duh, terlalu mendung, terlalu murung,” katamu.

DI SUATU TITIK DALAM WAKTU

: Life begins at forty... barangkali inilah satu titik dalam waktu ketika kita harus jadi penentu : mengubah atau pasrah Citamiang, 17 Mei 2007; 13:48

AKU JATUH

sampailah ketika malam jatuh cinta padamu bandara seperti lelap penerbangan tertunda ruang tunggu senyap layar ponsel menyala sampailah kata aku jatuh cinta padamu setelah jarum waktu menusukkan rindu dan benang ruang mengelindan rasa sayang sampaikan saja aku jatuh cinta lagi padamu Batam, 25 Maret 2007; Citamiang, 14 Mei 2007; 13:01

LAGU PETANG CITAMIANG

tasbih kami pagi dan petang zikir kami siang dan malam hanya Engkau yang menyempurnakan Citamiang, 11 Mei 2007; 17:48

TIGA CATATAN HARIAN

/1/ Jum’at, 23 Maret 2007; 20:44:41 Pada jejak mana engkau terkenang? “Adakah di tengah keramaian, cahaya lampu, dalam gelak tawa, kerinduanmu mengalir pada semilir angin, tatapan sendu, nyanyi sunyi. Adakah?” Jalan-jalan menjulur dari rerimbun silam. Lalu, engkau renggut aku dari rimba hitam. “Mari, singkirkan takut, jelajahi lagi sesal bersama-sama.” Dan kita pun berdua pergi bersampan, menjelajahi malam, mengalir jernih dalam kata-kata sebening sungai, dipandu ribuan gemintang. Inilah biografi penyesalan, kataku membuka kelam. “Mengapa aku harus tulis masa silam?” Engkau duduk di ujung sampan, menatap bayang meteor yang jatuh ke lubuk sungai. Tanganmu menggigil, seperti ranting rapuh yang sendiri, diterpa angin dari musim ke musim. Selalu kerinduan yang jadi sandaran. Sementara aku di sini mencatat saja, mengusir duka dengan duka berikutnya. Katamu, dapatkah, dapatkah? “Sebenarnya, sia-sialah aku mengusir duka. Bahkan cahaya lampu, cuma sepisau rindu!” Sampan terombang-ambing laut

WILAYAH KABUT

Image
aku tetap menanti di teras yang sepi meski sujudku gagal doaku banal Tatar Pitaloka, 15 April 2007; 03:59

WILAYAH MELANKOLI

— SHP, LM, EJ, YTs.... dst. Yesterday, love was such an easy game to play Now I need a place to hide away.. (The Beatles) Lennon-kah yang datang selarut ini? Padahal cinta sudah ditembak mati, mungkin tadi, pagi-pagi sekali. Ono menangis: telah kusaksikan segala perih, kakak. Semua telah kusaksikan. Kita telah telanjang bersama waktu, berdua saja dalam etalase kaca. Mengapa ada orang yang tega menembak mati cinta? Tapi cinta tak pernah benar-benar mati, adik. Dia bersembunyi ke rumah pohon masa kecilnya, lari dari peluru yang menyobek hati. Menenteramkan resah dari perang yang tak sudah. Kini dia datang memancar-mancar dalam cahaya biola, di ruang berkaca. Dan kita tersergap melankoli, ingin ditembak mati, sekali lagi. Memang cinta tak bisa benar-benar mati, kakak. Dia cuma mengungsi ke taman mimpinya yang mungil, di belahan hati mana tak ada peta. Meredakan kenang dari harapan yang membuncah, seperti gedebur air di kolam sebelah, memecah. Kini dia datang lewat jari kabut yang mengetuk

WILAYAH MIMPI

duh, taman mimpi yang mungil di wilayah hati mana harus kuletakkan biar tak terpencil dan tetap mewangikan Citamiang, 14 April 2007; 10:05

ALBUM: CISANGKUY

Image
Siapakah yang kau nanti di sudut itu? Bangku cokelat, petang menjelang. Langit sebentar jadi buram, cuaca suka-suka. “Mungkin tak banyak lagi waktu,” katamu. Dan jika pesan itu terkirim sudah, saatnya pun akan tiba. Dia akan terbang, sayap waktu di pundaknya berkepak tanpa ragu. (Dan aku pun bersicepat, mengejar saat yang sekelebat. “Mungkin tak banyak lagi waktu,” bunyi pesan di ponselku.) Mengunyah pedas kehidupan, matamu rerimbun daun di taman seberang. Berapa rindu telah kau lewati di kini? Menanti pesan dalam sendiri, memamah takdir pelan-pelan. Sesayup apa duka yang menggantung di dahan-dahan? Payung nasib begitu rindang. (Dan aku mengemudikan angin, sahabat lama. Ia pun berharap menemuimu di bangku cokelat, saat petang mulai menjelang.) Siapa yang menggelepar di sampingmu? Mengelus pundak selembut karib lama: angin.. Diakah yang datang dari masa lalu itu. Lengannya melipat tahun-tahun, tatapannya menggulung jalan-jalan, pesannya secemerlang kristal hujan. Siapa gerangan mengunda

SYAIR LAGU POP

Image
terombang-ambing di laut kenang lunas sampanku berlubang belum kujumpa perbatasan : cinta dan sayang aku tahu sudah : aku telah karam Manglayang, 1 April 2007; 21:39

ENGKAUKAH

engkaukah laut, deburmu merindu kelip lampu engkaukah angin, bersiut rawan pada dahan engkaukah sampan, terkenang rindu pelabuhan Tj Pinang, 24 Maret 2007; 10:37

NONGSA POINT MARINA

Image
— Sapto it’s only words and words that’s all I have to take your heart away.. (“Words”, Bee Gees) Orang-orang pun berkemas ketika kata-kata lepas jadi ombak yang gemas. Benarkah hanya kata yang dapat membawa hatimu berkelana? Engkau tatap ujung cahaya, lelap, langit gelap. Tetapi cahaya berhamburan, pecah di ujung kenangan. Engkau, “Sedang apa gerangan?” Coba mengingat atau melupa, tak ada beda. Keduanya cuma sesayat luka, atau suka? Tak ada beda. Orang-orang akan pulang, meninggalkan laut sendirian. Cahaya telah padam, bungkam, lensa kehilangan mata. Engkau, “Jangan mengenang,” kataku. Cuma akan jadi rindu dendam, dan kau akan karam. Batam, 23 Maret 2007; 22:10

ALBUM BUAHHATIKU

— Fathia Ramadina, 12 Maret 2007 Pertengahan malam. Engkau masih sibuk dengan buku-buku. Jarimu menulis entah apa. Televisi menyala di ruang jauh, engkau sayup-sayup berdendang. “Jangan matikan lampu itu,” gerutumu. Hei, masih takutkah engkau pada gulita? “Tidurlah,” kataku. Malam sudah larut, suara televisi jauh, dan elusan tangan ibu. Aku mengulang lagu pengantar tidur ibuku, buahhatiku.. Permulaan pagi. Sekarang, duabelas tahunkah usiamu itu? Engkau terkikik waktu ibu menciummu, menggulung seperti bayi di ranjang kami. Waktu, ia seperti segan beranjak dari kamar ini. Masih terkenang bau melati, buahhatiku. Beserta senyumku dengan seporsi besar kopi pagi. Dan engkau berceloteh di sudut, bahasa bayi, “tat.. tia.. tat.. tia..” Kini engkau menggesahku, “Hari ini upacara bendera.” Pertengahan hari. Aku tenggelam dalam sibuk sendiri. Ibu, mungkin mencuci, mungkin menonton televisi. Lalu suaramu yang bayi membelai siang dengan riang, “Nanti aku pulang telat, mengerjakan tugas

SEUNTAI TENTANG RINDU

alangkah takut aku pada rindu ia seperti ular dalam semak hatiku mematuk di belakang punggungmu Cipularang, 21 Maret 2007; 15: 52

PERJALANAN LAMA: STASIUN FRANKFURT

Angin kelabu, desisnya di luar napas. Jalanan beku, kereta berderak, orang-orang berlalu. Siapakah aku? Di tengah cuaca hampir-hampir salju, asap sigaret tak pernah bisa kutahu. Cuma derit napas yang mengambang ke negeri hujan. Siapakah engkau yang muncul dari balik rerimbun tiang listrik, sengkarut gedung-gedung fana? Tangan di saku, mantel berbulu—rambutmu di mana? Tak bercakap, cuma sejelas isyarat, Bagilah aku sigaret itu . Maka kuketukkan sebatang sigaret di bangku, memantik api ke ujung sesapmu. Senyum yang dingin itu pun berlalu. Aku tersedak—entah asap, entah udara yang sedingin bungkah es. Bagaimanapun, aku berlagu: senyum itu sapaan pertama di hari-hari serupa mendung ini. Lalu menunggu, bus belum sampai waktu. Seperti langit sekanvas debu, diam menyesap guguran gemuruh dedaunan. Di ujung sana, kereta merayap-rayap di semua sudut kota, stasiun juga menunggu. Perempuan tua dengan mangkuk buruk, meminta-minta, tak ada yang peduli. Cuma kami yang asing di lanskap bersih ini. Pin

TIGA PUCUK PESAN JELAGA

— Hasan Aspahani /1/ ini malam sungguh kusam airmata jadi kristal terbata-bata menyobek kelukup mata dongengmu menyerobot pekat ibarat cahaya dibetot lubang hitam “ada hujan huruf setelah ledakan bisu sebuah pesawat dia tak sempat baca: nama-nama yang jatuh ke laut” — aku mendaraskan zikir /2/ ini malam sungguh kelam serupa di gemintang padam kisahmu berkelana ke sempadan pencarian ibarat kecepatan cahaya sebuah kapal bintang “tapi, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota mungkin dengan gerak sebentar, bisa sekadar mengabarkan” — aku merapalkan zikir /3/ ini malam sungguh legam seperti bangkai di pantai, gemetar ceritamu terlontar, perahu kertas terdampar “akulah penumpang karam pada bandang banjirmu padahal amuk laut tak pernah minta disambut” — aku mengukir zikir mengeja jalur airmata tak tersisa lagi jejak basahnya Manglayang, 4 Januari 2007

ALBUM LAMA: SEPANJANG TENGKU UMAR

Engkaukah yang menjenggut lenganku dalam hujan-angin itu? Kau tahu, payungmu tak pernah cukup untuk kita. Selalu. Maka merapatlah padaku. Lingkarkan lengan di pinggangku. Aku akan mengutip entah siapa, mengusir ragu. Tapi, tak perlu engkau pura-pura mendengarku. Hujan-angin itu terlalu gaduh! Cahaya lampu-lampu jalan pun hanya nyala kunang-kunang. Jadi, dekatkan saja wajahmu.. Kau tahu, aspal telah jadi sungai, perasaan kita pun mengalir ke muara mana. Pada siapa engkau sesungguhnya menaruh senyap? Sementara tombak-tombak hujan menikam seru, payung kita selalu terombang-ambing ragu. Aku membisikkan tanya, mengulangnya entah untuk siapa. Tapi hujan-angin rusuh, kata-kataku tinggal rapuh. Jadi, dekatkan saja perasaanmu.. Kau tahu, pohon-pohon telah jadi batu, masa lalu pun tersapu hujan-gaduh itu. Kepada siapa aku harus menabalkan janji? Selain pada kenangan—mungkin selembar catatan bersamamu. Tapi hujan-rusuh dan angin-hingar, enggan mendengar rayuan. Yang kukatakan cuma gumam. Maka, d

ALBUM LAMA: DIPATI UKUR No. 68

— Republic Science Club suatu ketika.. Hujan renyai jatuh kesekian kali di jalan ini. Mengapa tak kau kembangkan payungmu yang berbunga-bunga itu? Sementara kata tak ada, kita cuma akan mendengar desau angin yang pergi bersama rahasia. Ke mana? Entah. Kita hanya perlu desir gerimis untuk digulung di dalam catatan harian. Di tikungan itu, tepat sebelum tangga, aku ambil jalan ke kanan. Engkau menggosok-gosok sepatu, mengetuk-ngetuk payung, menyesap ingatan dalam-dalam, “Berapa resah yang telah jadi entah.” Ah, kekasihku, begitu dalam palung waktu, menunjam serupa lempeng benua dan samudera. Di sini ruang begitu sungkup, bertimbun buku, berjibun berkas. Kita menyingkup dunia yang terbang lepas dalam malam-malam perbantahan yang hangat. Di luar, dingin berdecit di telinga, engkau menghalaunya dengan ribuan halaman kopi. Sigaret.. sigaret.. Di mana gerangan sigaret? Freire-kah itu yang menyesapnya dan membualkan asap di sembarang tempat? Lalu, pagikah itu yang mengetuk pintu? Suratkabarka

ALBUM LAMA: JAKARTA-BANDUNG

bagi: Ky Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahi Jakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu? “Klaus Meine, Scorpion,” katamu. Wind of Change berkumandang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh, katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyeberanginya demi cinta. Seperti kita. Siapa berani mengganggu mimpi. Pinus di halaman sekolah itu kering sudah, katamu. Orang tak lagi suka menyiram bunga-bunga, lebih suka bertanam di bursa. Tetapi sajak mana yang kubacakan untukmu ketika itu: cuma bulan mampu mencium hatiku/bulan yang biru//cuma perempuan bakal ngerti dukaku/perempuan yang rindu . 1) Lekat selalu. Ke mana gerangan harus kita siahkan ragu. Engkau cuma ada di sisiku, tak pernah bisa merubuhkan tembok itu. Kapitalismekah yang telah berjaya, katamu? Aku ragu. Pak Tua itu mungkin sekali benar, semua kelak retak. Kita membikinnya abadi 2) ? Aku ragu. Ini zaman menolak abadi, semuanya lekas pergi. Lalu siapakah yang berkata, aku ingin me

ALBUM LAMA: CIATER

Siapa mengusik malam dengan menabur kenangan? “Vina,” katamu. “Sekuntum mawar merah, harum dan mekar,” katanya. Ah, masa iya? Kita ini di atap benua, menatap aneka warna berganti rupa. Kita ini di pengujung semesta, hendak mencatat cahaya di fosil nebula. Lantas, kunang-kunangkah itu? Yang kau rekam dalam lensa. Ataukah: duka? Citamiang, 9 Maret 2007; 14:27

ALBUM LAMA: PANGANDARAN

Sebelum senja, pelataran karang bagai padang, matahari berkumandang. Lazuardi putih, ombak serupa melati. Aku-engkau menyelinap di balik batu-batu, kepiting berhamburan, ikan-ikan pun menari. Dentuman mana memanggil di batas suara? Suara mana terdiam di batas telinga? Sebelum senja, itulah masa gembira. Pantai yang berwarna, jauh ke takdir airmata. Aku-engkau belum kenal ragu, tak tahu arti cemburu. Ombak-pasir berpelukan mesra, tak ragu berbagi rahasia. Kita di mana? Ombak sedang menyepuh rambutmu, pasir sedang menyentuh jemariku. Kita ke mana? Ke laut.. ke laut.. Lalu, engkau menggandeng lenganku. Ke laut.. ke laut.. Sore itu hampir gelap, aku-engkau mengendap. Pantai nyaris tak berbekas, cuma debur ombak. Di bangku kayu itu kita menatap. Apa yang kau saksikan di lazuardi: masa depankah? Dukakah itu yang hampir tiba? Kita tak bercakap, semua dilipat hening, airmatamu bening. Lalu, aku-engkau bertukar tatap, pasini di sini. Katamu, “Nanti kujemput dengan bahtera kejut, dari dalam palu

ALBUM LAMA: TENGKU ANGKASA No. 47½

Image
— The long and winding road that lead to your door... (The Beatles) Kita bertiga: aku, engkau, dan angin, di jalan ini. Angin mengertapkan rahangnya yang sama, ia pernah tahu aku mengantarmu di depan pintu itu, menatap sepenuh ragu, “Badai apa yang berkecamuk di palung hatimu?” Dan rahasia pun terkuburlah di lempeng waktu. Taman masih segitiga, daun-daun berluruhan dibelai angin. Dialah yang ingin setia berkawan denganmu. Sementara aku, tak kuasa bersahabat dengan rahasia. Kami bertengkar tak menentu, memperdebatkan sedesau ragu! Di sini jalan-jalan bermuara entah, ke mana pun arah kita menuju. Ke utara, arah yang baru kau siah. Ke selatan, perjalanan malam dalam sakit tak berkawan. Ke barat, pohon-pohon alangkah menakutkan. Ke timur, ke timur, kataku... Matahariku. Ketika berdua: engkau dan angin. Dia memainkan anak rambutmu, “Gerangan apa yang meledak di relung jiwamu?” Engkau terdiam, menepis jarinya, gerimis pun berguguran bersama daun. “Angin, kamu mulai tidak bersetia!

DOA UNTUK EUGENIA

bagai sinterklas aku merapal doa ke kaus kaki natalmu bukalah: barangkali dapat kubagi sepercik cinta— hadiah terbaik yang dianugerahkan Tuhan kepada kita Manglayang, 2-3-07; 20:13

APA KABAR BURUNG CAMAR

: teringat Iwan Abdurrahman apa kabar burung camar kulihat bahtera-bahtera terbakar karam di lautan kudengar kapal-kapal limbung di udara patah di landasan basah kurasa jentera kereta berderak lepas dari jalurnya gerangan apa burung camar kulik-kulikmu segencar duka apa kabar burung camar : apa kabar airmata! Citamiang, 28-2-07; 11:12

MEJA MAKAN YANG DINGIN

Image
kletak-kletik piring sendok beradu seperti nyanyi sunyi angin menyayat sampai pagar meluruk hingga Februari resonansi sepi hujan mengiris sampai teras percik luka hati tak sudi pergi Manglayang, 27-2-07; 19:02

SECANGKIR TEH HANGAT KETIKA HUJAN BEGITU LEBAT

Image
secangkir teh pekat hujan begitu lebat secangkir teh pekat perhentianmu yang hangat Citamiang, 25/1—22/2, 2007

GADIS DALAM MIMPI

segar serupa mawar wanginya hampir-hampir nyata seperti bayangan Citamiang, 22 Februari 2007, 10:38

SEKUNTUM MAWAR PUTIH

- teringat Gibran-May sekuntum mawar putih dalam hatiku yang telah kusemat dekat dahimu betapa manisnya! ia gemetar menahan malu Manglayang, 4 Januari 2007, 10:30

SETANGKAI KEMBANG SEPATU

kemarau ini alangkah terlalu membiarkan hatinya kerontang layu terombang-ambing di dahan waktu Manglayang, 4 Januari 2007, 10:06

SETANGKAI ANGGREK

Image
ungu pudar warnanya cinta hujan akan menyepuhnya Manglayang, 4 Januari 2007, 08:34

SETANGKAI MELATI

pagi-pagi ia jatuh ke bumi angin rusuh malam tadi tangkainya yang rapuh tak kuasa menjagai bangkainya yang putih-bersih masih mengumandangkan wangi untuk angin yang menjemputnya pergi Manglayang, 4 Januari 2007, 08:30

SETANGKAI BUNGA KUPU-KUPU

Image
digoda angin yang tersipu ia mengelak malu-malu kemilau embun di ujung senyumnya berguguran seperti gunung batu yang runtuh melafazkan gemuruh di hatimu Manglayang, 4 Januari 2007, 08:25

SESEORANG MENUNGGU

- Menoel apakah inti hidup itu menunggu seperti hakikat menua adalah menjadi sepi? aku menunggu kereta lalu jentera besi berdesis dan dari dua batang rel memercik api rindu kereta berderap lagi, lagi, dan lagi tak satu pun jurusanku sementara dari sekian pintu bertemperasan seribu sepatu tak sebersit pun bayanganmu ah, kerinduan setengah dari kehidupan, engkau mengutip ujaran dari buku entah yang mana aku pun masih menunggu di stasiun yang kini mati menua bersama gelimang cahaya menanti kereta paling akhir yang mungkin jurusanku Citamiang, 31 Januari 2007

CINTAKU PUN

cintaku pun bungkam seperti batu di dasar bengawan cuma mendengar desir rindu di sebujur waktu yang berlari cintaku pun diam seperti elang di tubir jurang hanya menatap desau ragu pada kenangan yang sembilu cintaku pun melambai padamu menumpang bahtera pertama bertolak melayari sunyi cuma tinggal sepatah janji kirim isyarat jika angin mati : ia menunggu dengan sabar dan keras hati Citamiang, 31 Januari 2007

SEPUCUK PESAN MERAH JAMBU

ini pagi yang mimpi kantuk masih bertakhta dalam sungging senyummu pagi lain yang tak biasa pagi yang mimpi tarian angsa menjejali udara zikir sekalian malaikat bergema, bergema “ de javu ”, kataku “hari yang pernah kutahu,” katamu ah, bagaimana tak kau tahu rasa sayang yang tumbuh kembang sajak yang terulang-ulang gerimis menjenggut lengan jaket biruku sepilar payung tak kuasa memagari derasnya kenangan “hari yang selalu,” katamu “romansa tak kenal ketika,” kataku bagaimana, bagaimana bisa kekasihku arloji melaung dalam surat-suratku yang terbakar catatan harian menggenangi ponsel tumpahruah di sekujur pesan yang tak kunjung pudar “aku masih bermimpi,” katamu tersenyum serupa bayi “tidur, tidurlah,” kataku ingin setia seperti pertapa pagi yang sungguh mimpi ini 21 Januari hari yang bermandi melati Manglayang, 21 Januari 2007

MENJELANG 40

— bagi IS petang masa remaja begitu indah seperti kisah selalu ingin diputar bersama serupa kenangan melesat menginterupsi tidur malam tapi yang silam tak bisa utuh terpilah celah, tersayat hasrat musim tak selalu sama kemarau bertekuk pada hujan hujan bertelut pada panas yang ditorehkan bersama sungguh, bisa sejenis bahagia, bisa pula sekadar luka Bandung, 7/8/2006—15/1/2007

ISTANA KUE

Image
zara, “ini istana kue!” wajahmu memerah apel muda rambutmu lempang ekor kuda pagi ini kita akan pergi ke kerajaan kue sehari istana dilingkung hutan langking menaranya tangkai ceri anak tangganya repih cokelat zara, “ini kerajaan kue!” merah ceri seceria lincah jari kerat cokelat segelap pagi menyemburat siang ini kita berlari ke adonan tepung berpucuk nyala api mandi lumpur di tengah gerimis kelak akan menjadi mimpi manis zara, “ini dunia kue!” nyala yang ingin melingkup semesta tapi sadar batasnya cahaya sore ini kita mencari remah-remah tersisa seserpih cokelat sesomplak ceri bekal buat kemudian hari zara, “ini penjara usia!” bayang-bayang yang memanjang mendekat senja Pasir Tanjung-Manglayang, 24-25 Desember 2006

GEMINTANG BERDESIR

seperti suara para nabi memanggil di sela pasir gemintang berdesir angin mengalun nyanyi sejarah Arafah, Jabal Rahmah : o, Ibu Hawa Al-Firdaus, 31 Desember 2006/ 10 Zulhijjah 1427 H; 00:12