Posts

Showing posts from March, 2007

NONGSA POINT MARINA

Image
— Sapto it’s only words and words that’s all I have to take your heart away.. (“Words”, Bee Gees) Orang-orang pun berkemas ketika kata-kata lepas jadi ombak yang gemas. Benarkah hanya kata yang dapat membawa hatimu berkelana? Engkau tatap ujung cahaya, lelap, langit gelap. Tetapi cahaya berhamburan, pecah di ujung kenangan. Engkau, “Sedang apa gerangan?” Coba mengingat atau melupa, tak ada beda. Keduanya cuma sesayat luka, atau suka? Tak ada beda. Orang-orang akan pulang, meninggalkan laut sendirian. Cahaya telah padam, bungkam, lensa kehilangan mata. Engkau, “Jangan mengenang,” kataku. Cuma akan jadi rindu dendam, dan kau akan karam. Batam, 23 Maret 2007; 22:10

ALBUM BUAHHATIKU

— Fathia Ramadina, 12 Maret 2007 Pertengahan malam. Engkau masih sibuk dengan buku-buku. Jarimu menulis entah apa. Televisi menyala di ruang jauh, engkau sayup-sayup berdendang. “Jangan matikan lampu itu,” gerutumu. Hei, masih takutkah engkau pada gulita? “Tidurlah,” kataku. Malam sudah larut, suara televisi jauh, dan elusan tangan ibu. Aku mengulang lagu pengantar tidur ibuku, buahhatiku.. Permulaan pagi. Sekarang, duabelas tahunkah usiamu itu? Engkau terkikik waktu ibu menciummu, menggulung seperti bayi di ranjang kami. Waktu, ia seperti segan beranjak dari kamar ini. Masih terkenang bau melati, buahhatiku. Beserta senyumku dengan seporsi besar kopi pagi. Dan engkau berceloteh di sudut, bahasa bayi, “tat.. tia.. tat.. tia..” Kini engkau menggesahku, “Hari ini upacara bendera.” Pertengahan hari. Aku tenggelam dalam sibuk sendiri. Ibu, mungkin mencuci, mungkin menonton televisi. Lalu suaramu yang bayi membelai siang dengan riang, “Nanti aku pulang telat, mengerjakan tugas

SEUNTAI TENTANG RINDU

alangkah takut aku pada rindu ia seperti ular dalam semak hatiku mematuk di belakang punggungmu Cipularang, 21 Maret 2007; 15: 52

PERJALANAN LAMA: STASIUN FRANKFURT

Angin kelabu, desisnya di luar napas. Jalanan beku, kereta berderak, orang-orang berlalu. Siapakah aku? Di tengah cuaca hampir-hampir salju, asap sigaret tak pernah bisa kutahu. Cuma derit napas yang mengambang ke negeri hujan. Siapakah engkau yang muncul dari balik rerimbun tiang listrik, sengkarut gedung-gedung fana? Tangan di saku, mantel berbulu—rambutmu di mana? Tak bercakap, cuma sejelas isyarat, Bagilah aku sigaret itu . Maka kuketukkan sebatang sigaret di bangku, memantik api ke ujung sesapmu. Senyum yang dingin itu pun berlalu. Aku tersedak—entah asap, entah udara yang sedingin bungkah es. Bagaimanapun, aku berlagu: senyum itu sapaan pertama di hari-hari serupa mendung ini. Lalu menunggu, bus belum sampai waktu. Seperti langit sekanvas debu, diam menyesap guguran gemuruh dedaunan. Di ujung sana, kereta merayap-rayap di semua sudut kota, stasiun juga menunggu. Perempuan tua dengan mangkuk buruk, meminta-minta, tak ada yang peduli. Cuma kami yang asing di lanskap bersih ini. Pin

TIGA PUCUK PESAN JELAGA

— Hasan Aspahani /1/ ini malam sungguh kusam airmata jadi kristal terbata-bata menyobek kelukup mata dongengmu menyerobot pekat ibarat cahaya dibetot lubang hitam “ada hujan huruf setelah ledakan bisu sebuah pesawat dia tak sempat baca: nama-nama yang jatuh ke laut” — aku mendaraskan zikir /2/ ini malam sungguh kelam serupa di gemintang padam kisahmu berkelana ke sempadan pencarian ibarat kecepatan cahaya sebuah kapal bintang “tapi, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota mungkin dengan gerak sebentar, bisa sekadar mengabarkan” — aku merapalkan zikir /3/ ini malam sungguh legam seperti bangkai di pantai, gemetar ceritamu terlontar, perahu kertas terdampar “akulah penumpang karam pada bandang banjirmu padahal amuk laut tak pernah minta disambut” — aku mengukir zikir mengeja jalur airmata tak tersisa lagi jejak basahnya Manglayang, 4 Januari 2007

ALBUM LAMA: SEPANJANG TENGKU UMAR

Engkaukah yang menjenggut lenganku dalam hujan-angin itu? Kau tahu, payungmu tak pernah cukup untuk kita. Selalu. Maka merapatlah padaku. Lingkarkan lengan di pinggangku. Aku akan mengutip entah siapa, mengusir ragu. Tapi, tak perlu engkau pura-pura mendengarku. Hujan-angin itu terlalu gaduh! Cahaya lampu-lampu jalan pun hanya nyala kunang-kunang. Jadi, dekatkan saja wajahmu.. Kau tahu, aspal telah jadi sungai, perasaan kita pun mengalir ke muara mana. Pada siapa engkau sesungguhnya menaruh senyap? Sementara tombak-tombak hujan menikam seru, payung kita selalu terombang-ambing ragu. Aku membisikkan tanya, mengulangnya entah untuk siapa. Tapi hujan-angin rusuh, kata-kataku tinggal rapuh. Jadi, dekatkan saja perasaanmu.. Kau tahu, pohon-pohon telah jadi batu, masa lalu pun tersapu hujan-gaduh itu. Kepada siapa aku harus menabalkan janji? Selain pada kenangan—mungkin selembar catatan bersamamu. Tapi hujan-rusuh dan angin-hingar, enggan mendengar rayuan. Yang kukatakan cuma gumam. Maka, d

ALBUM LAMA: DIPATI UKUR No. 68

— Republic Science Club suatu ketika.. Hujan renyai jatuh kesekian kali di jalan ini. Mengapa tak kau kembangkan payungmu yang berbunga-bunga itu? Sementara kata tak ada, kita cuma akan mendengar desau angin yang pergi bersama rahasia. Ke mana? Entah. Kita hanya perlu desir gerimis untuk digulung di dalam catatan harian. Di tikungan itu, tepat sebelum tangga, aku ambil jalan ke kanan. Engkau menggosok-gosok sepatu, mengetuk-ngetuk payung, menyesap ingatan dalam-dalam, “Berapa resah yang telah jadi entah.” Ah, kekasihku, begitu dalam palung waktu, menunjam serupa lempeng benua dan samudera. Di sini ruang begitu sungkup, bertimbun buku, berjibun berkas. Kita menyingkup dunia yang terbang lepas dalam malam-malam perbantahan yang hangat. Di luar, dingin berdecit di telinga, engkau menghalaunya dengan ribuan halaman kopi. Sigaret.. sigaret.. Di mana gerangan sigaret? Freire-kah itu yang menyesapnya dan membualkan asap di sembarang tempat? Lalu, pagikah itu yang mengetuk pintu? Suratkabarka

ALBUM LAMA: JAKARTA-BANDUNG

bagi: Ky Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahi Jakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu? “Klaus Meine, Scorpion,” katamu. Wind of Change berkumandang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh, katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyeberanginya demi cinta. Seperti kita. Siapa berani mengganggu mimpi. Pinus di halaman sekolah itu kering sudah, katamu. Orang tak lagi suka menyiram bunga-bunga, lebih suka bertanam di bursa. Tetapi sajak mana yang kubacakan untukmu ketika itu: cuma bulan mampu mencium hatiku/bulan yang biru//cuma perempuan bakal ngerti dukaku/perempuan yang rindu . 1) Lekat selalu. Ke mana gerangan harus kita siahkan ragu. Engkau cuma ada di sisiku, tak pernah bisa merubuhkan tembok itu. Kapitalismekah yang telah berjaya, katamu? Aku ragu. Pak Tua itu mungkin sekali benar, semua kelak retak. Kita membikinnya abadi 2) ? Aku ragu. Ini zaman menolak abadi, semuanya lekas pergi. Lalu siapakah yang berkata, aku ingin me

ALBUM LAMA: CIATER

Siapa mengusik malam dengan menabur kenangan? “Vina,” katamu. “Sekuntum mawar merah, harum dan mekar,” katanya. Ah, masa iya? Kita ini di atap benua, menatap aneka warna berganti rupa. Kita ini di pengujung semesta, hendak mencatat cahaya di fosil nebula. Lantas, kunang-kunangkah itu? Yang kau rekam dalam lensa. Ataukah: duka? Citamiang, 9 Maret 2007; 14:27

ALBUM LAMA: PANGANDARAN

Sebelum senja, pelataran karang bagai padang, matahari berkumandang. Lazuardi putih, ombak serupa melati. Aku-engkau menyelinap di balik batu-batu, kepiting berhamburan, ikan-ikan pun menari. Dentuman mana memanggil di batas suara? Suara mana terdiam di batas telinga? Sebelum senja, itulah masa gembira. Pantai yang berwarna, jauh ke takdir airmata. Aku-engkau belum kenal ragu, tak tahu arti cemburu. Ombak-pasir berpelukan mesra, tak ragu berbagi rahasia. Kita di mana? Ombak sedang menyepuh rambutmu, pasir sedang menyentuh jemariku. Kita ke mana? Ke laut.. ke laut.. Lalu, engkau menggandeng lenganku. Ke laut.. ke laut.. Sore itu hampir gelap, aku-engkau mengendap. Pantai nyaris tak berbekas, cuma debur ombak. Di bangku kayu itu kita menatap. Apa yang kau saksikan di lazuardi: masa depankah? Dukakah itu yang hampir tiba? Kita tak bercakap, semua dilipat hening, airmatamu bening. Lalu, aku-engkau bertukar tatap, pasini di sini. Katamu, “Nanti kujemput dengan bahtera kejut, dari dalam palu

ALBUM LAMA: TENGKU ANGKASA No. 47½

Image
— The long and winding road that lead to your door... (The Beatles) Kita bertiga: aku, engkau, dan angin, di jalan ini. Angin mengertapkan rahangnya yang sama, ia pernah tahu aku mengantarmu di depan pintu itu, menatap sepenuh ragu, “Badai apa yang berkecamuk di palung hatimu?” Dan rahasia pun terkuburlah di lempeng waktu. Taman masih segitiga, daun-daun berluruhan dibelai angin. Dialah yang ingin setia berkawan denganmu. Sementara aku, tak kuasa bersahabat dengan rahasia. Kami bertengkar tak menentu, memperdebatkan sedesau ragu! Di sini jalan-jalan bermuara entah, ke mana pun arah kita menuju. Ke utara, arah yang baru kau siah. Ke selatan, perjalanan malam dalam sakit tak berkawan. Ke barat, pohon-pohon alangkah menakutkan. Ke timur, ke timur, kataku... Matahariku. Ketika berdua: engkau dan angin. Dia memainkan anak rambutmu, “Gerangan apa yang meledak di relung jiwamu?” Engkau terdiam, menepis jarinya, gerimis pun berguguran bersama daun. “Angin, kamu mulai tidak bersetia!

DOA UNTUK EUGENIA

bagai sinterklas aku merapal doa ke kaus kaki natalmu bukalah: barangkali dapat kubagi sepercik cinta— hadiah terbaik yang dianugerahkan Tuhan kepada kita Manglayang, 2-3-07; 20:13

APA KABAR BURUNG CAMAR

: teringat Iwan Abdurrahman apa kabar burung camar kulihat bahtera-bahtera terbakar karam di lautan kudengar kapal-kapal limbung di udara patah di landasan basah kurasa jentera kereta berderak lepas dari jalurnya gerangan apa burung camar kulik-kulikmu segencar duka apa kabar burung camar : apa kabar airmata! Citamiang, 28-2-07; 11:12

MEJA MAKAN YANG DINGIN

Image
kletak-kletik piring sendok beradu seperti nyanyi sunyi angin menyayat sampai pagar meluruk hingga Februari resonansi sepi hujan mengiris sampai teras percik luka hati tak sudi pergi Manglayang, 27-2-07; 19:02

SECANGKIR TEH HANGAT KETIKA HUJAN BEGITU LEBAT

Image
secangkir teh pekat hujan begitu lebat secangkir teh pekat perhentianmu yang hangat Citamiang, 25/1—22/2, 2007

GADIS DALAM MIMPI

segar serupa mawar wanginya hampir-hampir nyata seperti bayangan Citamiang, 22 Februari 2007, 10:38