BANDARA CHANGI, SINGAPURA
— bersama Rini, Lilis… Seperti semangkuk laksa Singapura, hidup cuma transit. Di selembar peta, dari kota ke kota. Orang-orang duduk di depanmu, dengan secangkir teh hangat, dengan ingatan yang tercekat. Apa artinya menunggu? Lima, tujuh jam bersama suara, “Pesawat nomor penerbangan anu, tujuan anu, di gerbang anu.” Lalu, kita bergegas menenteng tas, membaca tanda di gerbang anu, pesawat anu, tujuan anu. Aduhai, akhirnya kau tahu, semua cuma perjalanan dari rindu ke rindu. Seperti semangkuk kacanghijau di kedai kecil itu, hidup cuma sesingkat gerimis. Di lembaran sejarah, dari peristiwa ke peristiwa. Orang-orang bercakap di sekitarmu, dengan segelas kopi susu, dengan kenangan yang ungu. Apa artinya bersama? Lima, enam jam di sana, lalu: “Sudah terlampau malamkah semua?” Dan kita menerobos hujan, mencoba setia pada kenyataan. Aduhai, akhirnya aku tahu, semua cuma persinggahan dari ragu ke ragu. Duduk di sini: semangkuk laksa Singapura dan secangkir teh yang mulai hilang hangatnya. Engka