ALBUM LAMA: TENGKU ANGKASA No. 47½


— The long and winding road
that lead to your door...
(The Beatles)


Kita bertiga: aku, engkau, dan angin, di jalan ini. Angin mengertapkan rahangnya yang sama, ia pernah tahu aku mengantarmu di depan pintu itu, menatap sepenuh ragu, “Badai apa yang berkecamuk di palung hatimu?” Dan rahasia pun terkuburlah di lempeng waktu.

Taman masih segitiga, daun-daun berluruhan dibelai angin. Dialah yang ingin setia berkawan denganmu. Sementara aku, tak kuasa bersahabat dengan rahasia. Kami bertengkar tak menentu, memperdebatkan sedesau ragu! Di sini jalan-jalan bermuara entah, ke mana pun arah kita menuju. Ke utara, arah yang baru kau siah. Ke selatan, perjalanan malam dalam sakit tak berkawan. Ke barat, pohon-pohon alangkah menakutkan. Ke timur, ke timur, kataku... Matahariku.

Ketika berdua: engkau dan angin. Dia memainkan anak rambutmu, “Gerangan apa yang meledak di relung jiwamu?” Engkau terdiam, menepis jarinya, gerimis pun berguguran bersama daun. “Angin, kamu mulai tidak bersetia!” engkau pun meradang. Lantas, dukakah itu yang tiba? Bayangan Tuhankah yang mampir di hatimu yang beledu.

Ketika berdua: engkau dan aku. Hendak ke manakah kita? Begitu tak menentu perasaan. Ke arah mana kita berjalan tak pernah ada muara. Sungai bersengkarut, cuma air menghilir, dan wajahmu sendu begitu. Ikalmu lusuh, jatuh gemuruh. Tak ada yang tersisa, berjalan berdua, sinema demi sinema, buku berlalu buku, tak sempat jua kusingkap rahasia. Engkau sungguh-sungguh batu.

Ketika berdua: aku dan angin. Kutampar dia karena cemburu: alangkah dekat ia padamu. Padahal sungguh kutahu engkau tabah seperti batu. Angin hanya tak punya bala, maka ia berpura-pura setia. Sedangkan aku, untuk setia pun penuh ragu.

Jalan masih menikung, pohon-pohon tua tegak menyembunyikan dukamu. Mestinya aku bersahabat dengan airmata itu, dengan siapa engkau habiskan malam-malammu. Tapi bahkan airmata berkata, “Aku tak cukup tahu, derita apa yang mengiris tulang sumsummu.” Lalu, pada rumputkah seharusnya kudesirkan tanya?

Kita bertiga: aku, engkau, dan angin, di ruang itu. Gigi angin gemeretak menahan ungu. Ia pernah tahu aku mengantarmu ke depan pintu, dan lihatlah: ia pun cemburu! Gerimis pun urung turun di sudut matamu, jarum-jarum hujan berpijar, cahaya dari mana? Sepatumu rusuh, telaga mana yang telah kau bentangkan padaku. Lantas, angin yang merah padam itu menggamit rahasia, mengajaknya pergi ke muara entah. Ke utara? Selatan? Barat atau timur? Aku benar-benar tak peduli: denganku, engkau tak pernah terpisah setipis jarak pun.

Manglayang, 6 Maret 2007; 21:45

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto