PERJALANAN LAMA: STASIUN FRANKFURT

Angin kelabu, desisnya di luar napas. Jalanan beku, kereta berderak, orang-orang berlalu. Siapakah aku? Di tengah cuaca hampir-hampir salju, asap sigaret tak pernah bisa kutahu. Cuma derit napas yang mengambang ke negeri hujan.

Siapakah engkau yang muncul dari balik rerimbun tiang listrik, sengkarut gedung-gedung fana? Tangan di saku, mantel berbulu—rambutmu di mana? Tak bercakap, cuma sejelas isyarat, Bagilah aku sigaret itu. Maka kuketukkan sebatang sigaret di bangku, memantik api ke ujung sesapmu. Senyum yang dingin itu pun berlalu. Aku tersedak—entah asap, entah udara yang sedingin bungkah es. Bagaimanapun, aku berlagu: senyum itu sapaan pertama di hari-hari serupa mendung ini.


Lalu menunggu, bus belum sampai waktu. Seperti langit sekanvas debu, diam menyesap guguran gemuruh dedaunan. Di ujung sana, kereta merayap-rayap di semua sudut kota, stasiun juga menunggu. Perempuan tua dengan mangkuk buruk, meminta-minta, tak ada yang peduli. Cuma kami yang asing di lanskap bersih ini.


Pintu bus berdentang, tak tampak seorang penumpang! Tapi ia merayap saja serupa mesin, tak pernah meleset dari tanda-tanda perhentian—tegak menunggu tak kenal waktu. Duhai, begitukah cinta kekasihku?


Manglayang, 13 Maret 2007; 15:52

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto