/1/ Jum’at, 23 Maret 2007; 20:44:41 Pada jejak mana engkau terkenang? “Adakah di tengah keramaian, cahaya lampu, dalam gelak tawa, kerinduanmu mengalir pada semilir angin, tatapan sendu, nyanyi sunyi. Adakah?” Jalan-jalan menjulur dari rerimbun silam. Lalu, engkau renggut aku dari rimba hitam. “Mari, singkirkan takut, jelajahi lagi sesal bersama-sama.” Dan kita pun berdua pergi bersampan, menjelajahi malam, mengalir jernih dalam kata-kata sebening sungai, dipandu ribuan gemintang. Inilah biografi penyesalan, kataku membuka kelam. “Mengapa aku harus tulis masa silam?” Engkau duduk di ujung sampan, menatap bayang meteor yang jatuh ke lubuk sungai. Tanganmu menggigil, seperti ranting rapuh yang sendiri, diterpa angin dari musim ke musim. Selalu kerinduan yang jadi sandaran. Sementara aku di sini mencatat saja, mengusir duka dengan duka berikutnya. Katamu, dapatkah, dapatkah? “Sebenarnya, sia-sialah aku mengusir duka. Bahkan cahaya lampu, cuma sepisau rindu!” Sampan terombang-ambing laut