WILAYAH MENDUNG

: Pagi murung dengan istriku...

Bahkan wajahmu tetap saja rembulan bagiku. Meski pagi mendung, kabut merundung. Kristal waktu jatuh seperti bulir-bulir padi, bernas serupa emas. Pagi ini takdir menerobos lewat genting kaca, matahari yang tersengal, seperti engkau di situ yang terpenggal. Kau adukan semua pada airmata. Dan aku, dapatkah aku setabah gunung batu? O, sayangku, cintaku, kekasihku.

Betapa dingin waktu. Ia menerobos kamar tanpa ketuk pintu. “Masih terlalu pagi untuk murung,” kataku. Tapi bagaimana aku dapat sembunyikan ragu. Matamu basah, gemuruhnya jatuh ke muara-muara. Rambutmu luruh, lambaiannya jauh ke ngarai-ngarai duka. Betapa sendunya waktu, kekasihku.

“Masih terlalu pagi untuk mendung,” kataku. Tapi bisakah aku memenjara kecewa? Memendamnya ke sebuah lubang hitam, menghimpitnya jadi zarah atom semesta. Dan suatu ketika ia meledak jadi semesta baru yang hanya cinta. Ah, betapa menyiksanya menunggu, kekasihku.

“Duh, terlalu mendung, terlalu murung,” katamu. Sajak-sajakku tersekat di udara, tak bisa menggambar apa, tak bisa menggapai mana. Namun wajahmu rembulan, tenang sedalam purnama. Dingin waktu tak pernah bisa menenggelamkannya.

Manglayang-Citamiang, 19 Mei 2007

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto