MITOLOGI RAGU

Setelah kesekian pertemuan, kulihat jalan bercecabang di lidahmu. Onak dan duri yang kau sebar di airmatamu telah membuat cedera hatiku. Hendak ke mana kau bawa aku, adik. Negeri gelap bernama nyeri ataukah ranah benderang bernama mimpi?

Telah kusemai benih-benih yang khianat dalam surat-suratku pagi hari. Merintis jalan yang kepayang, dusta tak kepalang. Katamu, “Apa salahnya, sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa."*) Tapi adik, kita bukan lagi sepasang kanak-kanak yang riang. Kenanganlah yang menjebak kita di wilayah gamang. Dan engkau bersikukuh tinggal, tak hendak pergi dari masa silam.

Manterakah yang kau taburkan di gelasku petang itu? Sekujur jiwaku tersengat ragu, racun masa lalu yang kau seduh untukku. Lalu sebuah cumbuan maut di pundak, tinggalkan merah dadu di hatiku. ‘Kan kutemani engkau, adik. Tak kan kutinggalkan engkau hingga malam menetes di mesin waktu. Dan kentongan para peronda telah meleleh jadi embun pagi.

Melewati sekian janji, tak kulihat jiwaku berkecambah di matamu. Yang ada labirin mimpi, telah kau terkam habis aku di sana. Betapa buas engkau, adik? Dengan beringas engkau mengerkah cintaku yang mungil dan tak berdaya. Hendak ke mana aku kau bawa—rantau kelam bernama perih ataukah negeri benderang bertajuk cita-cita?

Citamiang, 21 September 2007; 12:39



---------------------------
*) “Kwatrin Tidak Bernama”, Hartojo Andangdjaja.

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto