KOMENTAR PUITIKA.NET ATAS "SEPUCUK PESAN UNGU"


Sepucuk Pesan Ungu— Editor 1
21.12.2007

Sepucuk Pesan Ungu adalah rindu yang mendayu-dayu lelaki pada kekasihnya. Sedemikian rindu sehingga tidak menyisakan ruang lain selain cinta, kau, dan aku. Kisah kasih yang sendu, harapan-harapan yang tumbuh silih berganti meresap di setiap puisi yang tertulis. Kumpulan Puisi ini ditulis oleh Ready Susanto, penyair kelahiran 40 tahun silam di Palembang (yang tentunya tidak lagi muda), mungkin tidak menawarkan sesuatu yang baru tetapi tetap pantas jika anda ingin menikmati kembali puisi percintaan yang lembut dan bernuansa ungu.

Sepucuk Pesan Ungu
Dua Kumpulan Sajak
Ready Susanto
Penerbit Semenanjung, Bandung
80 Halaman

3 Puisi dari Antologi Puisi "Sepucuk Pesan Ungu"

Profil Penyair

Ready Susanto kelahiran Palembang, 25 Desember 1967. Lulus dari Departemen Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran pada 1992. Bekerja sebagai editor di beberapa penerbit di Jakarta dan Bandung sejak 1993. Menulis karya fiksi dan nonfiksi di pelbagai media massa sejak masih duduk di bangku SMA. Sajak-sajaknya dimuat antara lain di Suara Pembaruan, Jayakarta, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Puisinet, serta dalam antologi Potret Pariwisata Dalam Puisi (1990) dan Cerita dari Hutan Bakau (1994). Kumpulan sajaknya Surat-Surat dari Kota terbit pada Juni 2006. Bukunya antara lain Emotikon: Kamus Gaul Internet (2002), 100 Tokoh Abad ke-20: Paling Berpengaruh(2004), dan 250 Wanita Abad ke-20: Paling Berpengaruh (2007). Sajak-sajak barunya dapat diakses di www.kata2bersahaja.blogspot.com

Sepucuk Pesan Ungu

ini pagi yang sungguh rindu
seperti langit mendung yang kugulung
jadi sepucuk pesan ungu
yang entah apakah selalu kau tunggu

Engkaukah

engkaukah laut,
deburmu merindu
kelip lampu

engkauhkah angin,
bersiut rawan
pada dahan

engkauhkah sampan,
terkenang rindu
pelabuhan

Album: Cisangkuy

Siapakah yang kau nanti di sudut itu? Bangku cokelat, petang menjelang. Langit sebentar jadi buram, cuaca suka-suka. "Mungkin tak banyak lagi waktu," katamu. Dan jika pesan itu terkirim sudah, saatnya pun akan tiba. Dia akan terbang, sayap waktu di pundaknya berkepak tanpa ragu.

(Dan aku pun bersicepat, mengejar saat yang sekelebat. "Mungkin tak banyak waktu lagi," bunyi pesan diponselku.)

Menguyah pedas kehidupan, matamu rerimbun daun di taman seberang. Berapa rindu telah kau lewati di kini? Menanti pesan dalam sendiri, memamah takdir pelan-pelan. Sesayup apa duka yang menggantung di dahan-dahan? Payung nasib begitu rindang.

(Dan aku mengemudikan angin, sahabat lama. Ia pun berharap menemuimu di bangku cokelat, saat petang mulai menjelang."

Siapa yang menggelepar di sampingmu? Mengelus pundak selembut karib lama: angin.. Diakah yang datang dari masa lalu itu. Lengannya melipat tahun-tahun, tatapannya menggulung jalan-jalan, pesannya secemerlang kristal hujan. Siapakah gerangan mengundangnya ke pesta diam? "Akukah?" katamu. Engkau lupa pernah mengundang bahaya..

(Dan aku pun duduk begitu saja di bangku cokelat. Petang jadi kristal, tahun-tahun menjadi bungkah es. Akukah yang kau nanti di sudut itu: tawa? berderai-derailah aku di dahan waktu.)

"Pasti sudah tak tersisa lagi waktu," katamu. Tentu saja, sekian zaman kita duduk di bangku cokelat itu. Menanti getar yang menjulur di ponsel kita. Saling mengganggu, saling menunggu. Mau temani aku?

(2007)

Dikutip dari Puitika.Net dengan perbaikan.

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto