MEJA NO. 25

Jalan. Menunggu. Hujan. Kau ingat sesuatu yang kau tinggalkan.
Meja itu, nomor 25. Semua berantakan, sepasukan gajah telah datang.
Di teras suara air terjun. Ada yang memesan teh panas,
seribu limaratus rupiah satu gelas.

Bangku ini, musim kini. Atau, musim lalu? Sesuatukah kau tinggalkan di meja.
Pertanda. Atau, remah untuk kuikuti? Berlomba dengan burung waktu,
kau menabur serbuk mimpi. Di teras orang menyanyi. Ada yang datang,
seperti kau kenali, tapi lalu ia pergi.

Bangku ini, hari ini. Selalu saja takut kau datangi. Kau ingat sesuatu pernah kau
telantarkan di sini. Matahari yang sama, gerimis yang itu-itu juga. Kau tinggalkan,
lalu sekejap itu pula kau rindukan.

Bangku. Menunggu. Hujan. Baiklah kita menepi, agar tak basah nanti.
Ini kali: kedua, ketiga, kelima? Kita berpindah dari musim ke musim. Dari bangku ke
bangku. Meja nomor berapa? Kita cuma kanak-kanak yang enggan
tinggalkan medan permainan.

Di teras suara angin. Musim apa ini? Hujan apa? Ah, kau yang pelupa.
Kita datang pada pertengahan kemarau, saat hujan petang kacaukan ramalan cuaca.
Ketika orang-orang itu pun datang, ketika orang-orang itu pun pergi.
Sepasang demi sepasang. Kita pun datang, kita pun pergi. Menghilang.
Tak seorang pun peduli pada remang senja hari.

Di bangku, meja nomor 25. Hujan. Payung besar-kecil berputar, bagai kincir takdir.
Di beranda suara siul waktu. Kau antarkah aku pulang?

Kujumput payung itu,
dulu kau tinggalkan untukku.


14 Agustus 2008; 13:47

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto