WILAYAH KEHIDUPAN SPIRITUAL DAN BAHASA EKSPRESI PENYAIR


Esai Eko Putra

Penyair mengangkat gambaran kehidupan dengan segala pergulatannya terhadap kehidupan itu sendiri, dan mencatatnya dalam puisi. Sadar atau tidak sadar, ketika sebuah puisi lahir dari tangan penyair, terdapat tiga wilayah kehidupan manusia yang selalu mengilhami seorang penyair untuk mencatatnya dalam puisi.
Ketiga wilayah yang dimaksud adalah ; Wilayah kehidupan individual, artinya puisi berkenaan dengan kehidupan manusia (baca: penyair) terhadap dirinya sendiri sebagai penyair. Wilayah kedua adalah wilayah kehidupan sosial, dalam hal ini puisi akan berkenaan antara kehidupn sosial penyair terhadap lingkungannya. Baik hubungan terhadap sesama manusia, maupun hubungan antara alam sekitarnya. Dan wilayah ketiga adalah wilayah kehidupan spiritual, artinya puisi berkenanan dengan bagaimana seorang penyair membangun hubungannya terhadap kekuatan besar yang berada di luar kekuatannya sebagai manusia (penyair) dengan orientasi menuju suatu hakikat yang disebut sebagai Tuhan. Tuhan dalam konsep keyakinan dan pergulatan masing-masing seorang penyair. Tentunya dengan bahasa ekspresi masing-masing penyair itu sendiri, yakni suatu cara bagaimana seorang penyair mengangkat dan mengungkapkan renungannya kedalam sebuah puisi.
***
Di dalam tulisan ini, saya hanya memfokuskan satu dari tiga wilayah yang saya sebutkan sebelumnya. Yakni wilayah kehidupan spiritual yang diungkapkan dalam sebuah puisi.
Membicarakan kehidupan spiritual artinya membicarakan suatu konteks bagaimana seorang manusia membangun hubungannya terdadap suatu zat hakiki yang mempengaruhi jalannya kehidupan. Seperti yang saya sebuatkan tadi, yakni orientasi suatu hal yang disebut sebagai Tuhan, yang kemudian ditrasformasikan kedalam puisi. Dan akan tergambar dalam puisinya, bagaimana kehidupan spiritual seorang penyair apakah ia melakukan pencarian, penolakan, pengabdian, keraguan, dan lain sebagainya, akan digambarkan lewat bahasa ekspresi dalam puisinya. Tentunya hal ini akan sesuai dengan cara masing-masing seorang penyair dalam mengungkapkan, dan banyak hal yang mampu ditransformasikan kedalam sebuah puisi, misalnya ; aspek cultural, anatomi tubuh, setting lingkungan, simbol-simbol dan banyak hal lainnya.
Sebagai contoh penggalan bait puisi Tirtagangga Wayan Sunarta, penyair Bali kelahiran Denpasar 22 Juni 1975. Dia mengekspresikan renungan spiritualnya dengan setting kultural yang sangat erat dengan nuansa Bali-nya.

hamba tepekur
di pelataran paduka ratu
menghayati sepi yang tiba tertatih
merambati jiwa yang telah paripurna
paduka ratu junjungan hamba
mesti berapa penjelmaan lagi hamba lalui
untuk sampai pada jiwamu


2006
(Halaman 120, Kumpulan Puisi Wayan Sunarta IMPIAN USAI. KUBU SASTRA, Denpasar, Agustus 2007)
Pembaca akan menemukan dalam penggalan bait puisi di atas, bagaimana nuansa bali tergambar begitu erat dalam ekspresi spiritual Wayan Sunarta. Ia tuliskan hamba tepekur/di pelataran paduka ratu. Bagaimana konsep tuhan ia ungkapkan sebagai seorang ratu, seorang wanita. Tentunya Wayan Sunarta sebagai penyair laki-laki luapan perasaan cintanya ditujukan terhadap wanita. Dan bagaimana keyakinan masyarakat Bali terhadap Punarbhawa yaitu keyakinan bahwa manusia akan lahir kembali setelah mati dan menjalani kehidupan baru, ia ungkapkan mesti berapa penjelmaan lagi hamba lalui/ untuk sampai pada jiwamu. Begitulah nuansa kultural dalam ungkapan Wayan Sunarta dalam bahasa ekspresi dalam wilayah spiritual yang direnunginya.
Berbeda dengan Wayan Sunarta, Penyair Bandung kelahiran Palembang 25 Desember 1967, Ready Susanto. Jikalau Wayan Sunarta menggunakan nuansa kultural sebagai ekspresinya dalam kehidupan spiritualnya. Ready Susanto hanya mencatat renungannya dengan metafor dan bahasa yang sederhana, namun begitu segar dengan frasa cukup memikat dan bernas. Seperti yang ditulisnya dalam puisi berikut ini.

Pengembara 4

tutup sajalah semua pintu
biarkan
sampai datang dan kuketuk
(kalau pun tak terbuka
aku akan masuk
lewat hati)
hati-Mu


Bandung, 25-05-87


(Surat-Surat dari Kota, Ready Susanto, Bejana. Bandung. Mei 2006)

Puisi singkat di atas dengan metafor “pintu” mengungkapkan perjalanan spiritual penyair. Bagaimana ia mencari jalan untuk menuju penciptanya melalui “pintu”. Mengapa pintu, ada apa dengan pintu. “Pintu” adalah cara seseorang untuk masuk dan berteduh dalam sebuah “rumah”. Dan penyair pun menulis, bagaimana kalau pintu tak terbuka, maka cara lain untuk menjumpai Dia adalah masuk lewat hati, hati-Mu. Duh, ketika seseorang membicarakan hati, bagaimana hati adalah suatu hal yang paling sensitif apalagi zat hakiki yang Maha Pemurah.
Pun juga berbeda lagi dengan bahasa ekspresi Penyair Sumsel kelahiran Medan 14 Juni 1960, Anwar Putra Bayu. Jika Wayan Sunarta menggunakan nuansa kultural, Ready Susanto cukup bermain metafor, ia menuliskan bahasa ekspresi kehidupan spiritualnya lewat simbol-simbol sufistik agama dari keyakinan yang dianut olehnya. Sebagaimana puisinya di bawah ini.

Dalam Masjid (2)

Ada yang telah hilang
di sini, diri sendiri
lalu diri itu menjelma
di dinding-dinding pualam
ia berjalan lewat biji-biji
tasbih, malaikat-malaikat turun
dan sembunyi di tiang-tiang
di sana, ia bermain tekapan
carilah tak jauh darimu
sedepa dari tiang-tiang
dan sebutlah ; Allah, Allah
di sini


1995


(Pada Akhirnya. Anwar Putra Bayu. Hikayat Publishing. Yogyakarta. Januari 2007)


Dalam puisi di atas tampak jelas sekali, bagaimana si penyair merangkai simbol-simbol yang berada di dalam masjid menjadi suatu renungan yang padu dan sangat terasa kejernihan pergulatan spiritualnya. Bagaimana jiwa seorang penyair benar-benar teduh di dalam masjid, dan merasakan sesuatu yang tenang namun penuh gejolak. Dan nampaklah bahwa penyair menyadari ada kekuatan yang mampu membuatnya menjalani kehidupan, yakni Tuhan, dan sebutlah ; Allah, Allah/di sini ungkapnya.
Dan begitu pula berbedanya bahasa ekspresi penyair-penyair lain, bagaimana ia puisinya mengungkapkan pergulatan spritualitasnya. Ia transformasikan dengan caranya sendiri, seperti halnya “DukaMu Abadi” Sapardi Djoko Damono, “PadaMu Jua” Amir Hamzah, “ Doa” Chairil Anwar, atau puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, D Zawawi Imron, Jamal D Rahman, dan masih banyak lagi penyair-penyair lain yang mengungkapkan bahasa ekspresinya tentang kehidupan spiritualnya, baik itu berupa pencarian, pengabdian, penolakan, pemberontakan, dan lain sebagainya. Sehingga ekspresinya itu menjadi label tersendiri bagi seorang penyair. Sudah barang tentu pula akan berbeda ketika saya berekspresi dengan bahasa menulis sebuah puisi, sesuai dengan cara saya sendiri.
Dan banyak sudut pandang yang dapat digunakan penyair untuk mengekspresikan kehidupan spiritualnya. Tergantung bagaimana penyair itu sendiri mentransformasikan keadaan di sekeliling menjadi bahasa ekspresinya yang jernih, bernas, dan tanpa mengumbar-ngumbar bahasa gombal yang dangkal tentang konsep ketuhanan. Mengkombinasi baris puisi Anwar Putra Bayu dan Chairil Anwar.
“pada akhirnya/aku tidak bisa berpaling”

(Sumber: Blog Eko Putra, juga dimuat di Sumatera Ekspress, Minggu, 15 Maret 2009)

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto