SAJAK-SAJAK DI HARIAN JURNAL NASIONAL


PERCAKAPAN SAAT MAKAN

Sebentang wilayah telah kau petakan di meja. Lalu, engkau aman berkata, “Mari kita makan.” Sesekali tanganmu menerobos sempadan, tak peduli padaku yang senyum-senyum sopan. “Yang itu kurang bumbu, yang ini kebanyakan cabai, yang anu kurang adonan...” Ah, yang manakah dalam hidupmu yang tepat takaran?

Selembar cerita panjang-lebar kau hamparkan di meja. Lantas, engkau senang tertawa, “Menurutmu bagaimana?” Aku hanya seorang kawan makan yang terpesona, pikiranku entah ke mana. Maka kujawab saja, “Ah, memang begitulah manusia.” Mula-mula engkau tertawa, lalu tersedak soto daging yang kebanyakan cabainya. “Kamu, gila. Ceritaku itu tentang peliharaan Si Anu.” Aku tersengat aroma tauco, tak mau kalah kata, “Ah, kucing juga manusia.”

Sehampar dongeng antah-berantah kau tunjukkan dari laptop. Tergelak-gelak engkau bersendawa, “Menurutmu siapa?” Aku hanyalah teman duduk yang bijaksana, tenang tanpa cakap yang membahana, “Apa-siapa-mengapa, apa peduli kita?”

Engkau tarik napas, tak sepenuhnya lega. Sementara aku telah mengendapkan segala makna. Akulah teh tawar di meja, hangat sebagai kawan bicara.

Lalu, kubiarkan kesalmu datang juga. Kau tuntaskan makanmu segera, bersungut-sungut, “Dasar, teh tawar memang bukan manusia.”


(2007)



BERSAMA SENJA
: meminjam senja Jokpin

akhirnya dapat juga
kami minum teh bersama
di tepi jendela
senja sedang cantik-cantiknya
habis mandi
setetes air masih turun
di anak rambutnya

kami yang bahagia
menyaksikan sebait kenangan favorit
lengkungan jembatan di kejauhan
(sepasang kekasih berlarian dalam hujan
cantik-manis seperti dalam klip lagu Peterpan)

akhirnya dapat juga
kami makan malam bersama
di ruang yang lengang
sepasang kursi yang jenjang
senja sedang indah-indahnya
habis sembahyang
sekristal air turun
di sela-sela sisa sujudnya

kami yang sukacita
berkilah dari hidup yang rumit
menumpang pedati yang berderit
(sekelebat ingatan bertemperasan
halus-lembut macam lirik lagu Eagle)

akhirnya, senja
dapat juga kita berpeluk-mesra
sebagai orang dewasa
yang cintanya selalu meremaja


(2007—9)



SEJUMLAH TEMPAT,
BAYANGANMU SEKELEBAT

/1/ Bandara
di gerbang mana engkau menunggu?
sudah kukenakan rindu
agar tak salah bila engkau menjemputku

/2/ Cisangkuy
alangkah bergairah: kata
alangkah indah: kita

/3/ Kafe
sejak kapan kita saling terpikat?
aku tak ingat, katamu
kenanganku pun telah lama sesat, kataku
Lalu, apa rindu ini perlu?

/4/ Kamar
aduhai, percakapan yang berderai hingga fajar
tak ingin kupergi lagi
ingin di sini, abadi

/5/ Kawah
apa yang kucium selain dendang parfum:
uap belerang melayang
setumpuk catatan
— sungguh hanya satu perjumpaan

/6/ Kereta
aku berangkat, kakak
ke sebuah negeri
tempat gelisah tak ada lagi

di manakah itu, adik?
ingin pula negeri itu kukunjungi
ah, maafkan kakak
aku terlelap tadi


/7/ Laut
luasmu tak ingin kuduga
dalammu tak hendak kukira

/8/ Pantai

apa yang terukir selain risalah pasir
dan kepiting berlari menyisir?

/9/ Rest Area

mungkin kamu cuma singgah
atau istirah
tapi, tak ada alasan untuk tak setia, bukan?

/10/ Rumah Tingkat
tetap saja hampa
denganmu aku
tak jua berjumpa

/11/ Toko Buku
dan engkau menggamitku
tapi hujan tak mau ‘nunggu
runtuhkan huruf-huruf rindumu

/12/ Tol Cipularang
bahkan dari perjalanan sebentar
rasa sayang dapat dikekalkan

/13/ Tukang Rujak

apa yang tercecap selain bibirmu?
mengunyah pedas
dan waktu terlalu bergegas

(2007)


(Dimuat di Harian Jurnal Nasional, Minggu, 31 Mei 2009)

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto