SEPILIHAN SAJAK, UNTUK ANAK-ANAK


ALBUM BUAHHATIKU
— Fathia Ramadina, 12 Maret 2007

Pertengahan malam. Engkau masih sibuk dengan buku-buku. Jarimu menulis entah apa. Televisi menyala di ruang jauh, engkau sayup-sayup berdendang. “Jangan matikan lampu itu,” gerutumu. Hei, masih takutkah engkau pada gulita? “Tidurlah,” kataku. Malam sudah larut, suara televisi jauh, dan elusan tangan ibu. Aku mengulang lagu pengantar tidur ibuku, buahhatiku..

Permulaan pagi. Sekarang, duabelas tahunkah usiamu itu? Engkau terkikik waktu ibu menciummu, menggulung seperti bayi di ranjang kami. Waktu, ia seperti segan beranjak dari kamar ini. Masih terkenang bau melati, buahhatiku. Beserta senyumku dengan seporsi besar kopi pagi. Dan engkau berceloteh di sudut, bahasa bayi, “tat.. tia.. tat.. tia..” Kini engkau menggesahku, “Hari ini upacara bendera.”

Pertengahan hari. Aku tenggelam dalam sibuk sendiri. Ibu, mungkin mencuci, mungkin menonton televisi. Lalu suaramu yang bayi membelai siang dengan riang, “Nanti aku pulang telat, mengerjakan tugas kelompok.” Tuhanku, aku mendoakan dunia lapang seluas padang untuk buahhatiku.. Di setiap tempat, pada setiap waktu, selalu.

Sore, hujan tak juga henti. Aku rindu celotehmu, bertanya apa ini-apa itu, mengapa ini-mengapa itu. Dari jauh, bergetar doa ibu di tikar sajadah, “Mengapa engkau belum pulang, buahhatiku..” Ibu, ibu, kuatkan hatimu untuk rindu. Ini masa sudah berganti, bersiaplah mengantar anakmu pergi.

Malam hari. Tergesa aku memacu rindu, membalap hujan yang tak sabar. Membuka pintu, ah alangkah mata, alangkah binar, engkau buahhatiku.. Dan kau acak lagi tas kerjaku yang mengunggun resah, sejak dulu. “Puisi lagi, puisi lagi,” engkau memajukan bibir, seperti ibumu. Kau tarik sehampar kertas dan kau pun asyik sendiri. Televisi menyala di masa yang jauh, kudengar sayup gerutumu, “Mana pesananku. Apa yang sesungguhnya kau ingini, sayangku?

(2007)



BERANJAK DEWASA

— Tia, Nea, Bia

pernah kami bayangkan, anakku
kau beranjak dewasa
tak lagi dibuai, tak bisa ditimang
tak sudi dibelai, tak mau disayang

tapi, cinta kami pedoman, anakku
yang selalu menuntun ke tujuan
memandu di laut kehidupan

doa kami angin buritan
yang membelai pundak kapal
mengantarmu ke dermaga
pelabuhan harapan

(2006)



SUARA SEPATU ANAKKU
: Fathia Ramadina, 1996

nyit nyit, suara sepatu anakku
berjinjit tak kenal henti
kaki ringan wajah riang
terkenang-kenang

nyit nyit, suara sepatu anakku
di taman bekas hujan
kaki basah wajah sumringah
terbayang-bayang

nyit nyit, suara sepatu anakku
masa depan terhampar
kaki tegar wajah segar
dalam doa, terulang-ulang

(2006)



MENGGAMBAR HUJAN
— untuk Zara

mari sayang, menggambar hujan
biarkan krayonmu menari
: merah, kuning, hijau
merah sumringah, kuning berdenting, hijau mengimbau

mari sayang, menggambar hujan
biarkan jarimu berjingkat
: garis dan lengkung
garis hati yang lurus
lengkung sikap yang lapang

mari sayang, menggambar hujan
biarkan khayalmu bebas bersayap
: melangit lepas

(2006)



DOA UNTUK EUGENIA


bagai sinterklas
aku merapal doa
ke kaus kaki natalmu

bukalah:

barangkali dapat kubagi
sepercik cinta—
hadiah terbaik
yang dianugerahkan Tuhan
kepada kita

(2007)



ISTANA KUE

zara, “ini istana kue!”
wajahmu memerah apel muda
rambutmu lempang ekor kuda

pagi ini kita akan pergi
ke kerajaan kue sehari
istana dilingkung hutan langking
menaranya tangkai ceri
anak tangganya repih cokelat

zara, “ini kerajaan kue!”
merah ceri seceria lincah jari
kerat cokelat segelap pagi menyemburat

siang ini kita berlari
ke adonan tepung berpucuk nyala api
mandi lumpur di tengah gerimis
kelak akan menjadi mimpi manis

zara, “ini dunia kue!”
nyala yang ingin melingkup semesta
tapi sadar batasnya cahaya

sore ini kita mencari
remah-remah tersisa
seserpih cokelat sesomplak ceri
bekal buat kemudian hari

zara, “ini penjara usia!”
bayang-bayang yang memanjang
mendekat senja

(2006)


(Sajak-sajak ini termuat dalam kumpulan sajak Album Buahhatiku: Sepilihan Sajak 1991-2007, Bejana, Cet. ke-3, 2009)

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto