RIWAYAT OEY, SERANGKAI SAJAK

HUJAN PERTAMA

menangkap getaran hujan pertama
bumiku luluh dalam cinta
bau tanah basah
dan cerita kecil masa bocah
bermain dalam hujan
kesegaran yang tak pernah
— atau tak mungkin lagi
kini dipunyai

makin dewasa kini
cerita kecil masa kecil
cuma bayang manis
semoga masih diceritakan kelak
pada anak dan cucu

berjalan dalam hujan pertama
aku mengalir dalam udara
cerah matahari dan daun-daun
bergetaran
di bingkai jendela
kulupakan berita dunia di lembaran warta
dan layar kaca

hujan
baru tiba sesaat tadi
tanah basah dan debu-debu kembali
ke asalnya:
Tuhan beserta semua

(Anyer, 10-90)



SURAT KESUNYIAN
— bagi Yun Ts.

kesunyian ini, kekasih
taman eden yang permai
(bila kita tak juga bercakap
cuma bertatapan
dalam kegamangan dan pengertian
yang tak terucapkan)

cinta mulanya: kesunyian ini
lalu ikrar yang suci
“kupasrahkan rusukku demi engkau,
kekasih”
dan Tuhan meniupkan: jadilah!
maka jadilah
(saat itu, aku mungkin mimpi bulan
jatuh di pangkuan,
dan kukenal itu, kesunyian taman
yang menyejukkan)

begitulah, kekasih
bila kita tak mampu juga bercakap
biarkan saja kegamangan,
menjadi pengertian tak diucapkan.
Dalam taman itu: kesunyian

(Bandung, 91)


GADIS BERMUKA BULAN
— tentang gadis kekasihku

gadis bermuka bulan
dan kegenitan bunga liar dalam senyumnya
dalam matanya adalah kekuatan
: hidup adalah keindahan masa sekarang
dan harapan-harapan akan datang

gadis bermuka bulan
ia menerawang
: biarkan waktu berlarian, lenyap
di belakang
biarkan peristiwa lalu dalam catatan
berjalanlah menuju bahagia
(ya, selalu kita percaya
yang akan Ia berikan)

(Bandung, 23-05-91/21-11-92)


BUNGA

—Yoen Ts.

yang kusemai dahulu
di taman kesunyian
berbungalah sudah

wanginya selalu
mengalir dari sela jendela

yang kutanam sebagai janji
tumbuhlah jua
mengarungi masa

semerbaknya senantiasa
mengetuk pintu kamar kita

(2006)


SEKUNTUM SAJAK
— diskusi pagi dengan istriku

sekuntum sajak
yang bertunas di taman hatiku
diselimuti matahari kasih
disirami hujan sayang

sekuntum sajak
yang mekar di taman jiwaku
tanahnya dukalara
pupuknya airmata

sekuntum sajak
yang gugur di taman cintaku
catatan dalam buku harian
warisan bagi anak-anakku

(2006)


MOMEN BIASA

kita berpandangan cuma
menakar rasa cinta
menebak dalam rindu

senyummu tawar
engkau mengenang siapa?
tawaku hambar
siapa bisa mengukur setia?

(2006)


DI THAMRIN, JAKARTA

aku ingin
menulis sebaris puisi saja
pada engkau hari ini
setelah sepanjang hari
berdiam dalam riuh rendah suasana
jalanan yang panas,
gemericik air mancur dan hijau
tanaman hias
yang lenyap dalam uap aspal
panas yang mengambang di udara
kota

aku ingin melagukan
sepenggal rayuan pada engkau
siang ini
di antara orang-orang melangkah tergesa
dengan dasi melambai ditiup angin,
bus yang tak pernah berhenti,
dan lalu lalang tanpa henti

aku ingin sekali
menorehkan sekadar sapaan
pada suasana yang telanjur
tergesa dan lupa
pada engkau yang terpesona
di sisi jalan
kota

(Bandung, 11-08-92)


MENANAM SEBATANG MANGGA
— obrolan Minggu pagi dengan isteriku

menanam sebatang mangga
di halaman yang sempit
di tengah hamparan bangunan
yang kian hari meluas tak terkira

menanam sebatang mangga
sembari mengingat dongeng nenek
tentang dunia peri-peri dan alam yang berseri
cuaca hijau penuh tumbuhan
dan alam terasa segarnya

menanam sebatang mangga
membayangkan anak-anak yang bermain
di bawah rimbun daun-daunnya
(semoga, anak-anak kita
masih dapat merasakannya)

menanam sebatang mangga
mengharapkan seekor burung
bersarang dan bertelur di atasnya
dan kicauannya pagi hari
meningkahi keriuhan suara kota

menanam sebatang mangga
sambil membayangkan semua tetangga
berbuat serupa

(Bandung, 04-94)


PELABUHAN KECILKU YANG TENANG


pelabuhan kecilku yang tenang
mata yang teduh
tempat berlabuh

(16 Agustus 2006)


YANG PALING PERTAMA
— kado untuk Yoen Ts.

maaf, bila cintaku terlalu berlumur kata-kata
dan suatu ketika kau sebut itu
dusta belaka

ingin sekali, hanya kupeluk rindumu
dalam sepi seperti
ketika pertama berjumpa
aku terjerat senyum yang terkesima

cinta kini telah jadi prosa
diguncang bimbang diguyah resah
gelisah jadi sembilu
karena janji yang disepuh mimpi

untuk itu, kekasih
kukenang selalu jumpa yang paling pertama
ketika aku terpesona
pada wajahmu yang tersipu
menyimpan cinta yang tak ternyana
puisi saja

(2006)


INTERLUDE
— Oey
memang hanya cemburu
yang mampu merenggutku
dari kabut yang bersaput rindu

(2006)


MEJA MAKAN YANG DINGIN

kletak-kletik piring
sendok beradu
seperti nyanyi sunyi

angin menyayat sampai pagar
meluruk hingga Februari
resonansi sepi

hujan mengiris sampai teras
percik luka hati
tak sudi pergi

(2007)




ALBUM LAMA: SEPANJANG TENGKU UMAR

Engkaukah yang menjenggut lenganku dalam hujan-angin itu?

Kau tahu, payungmu tak pernah cukup untuk kita. Selalu. Maka merapatlah padaku. Lingkarkan lengan di pinggangku. Aku akan mengutip entah siapa, mengusir ragu. Tapi, tak perlu engkau pura-pura mendengarku. Hujan-angin itu terlalu gaduh! Cahaya lampu-lampu jalan pun hanya nyala kunang-kunang. Jadi, dekatkan saja wajahmu..

Kau tahu, aspal telah jadi sungai, perasaan kita pun mengalir ke muara mana. Pada siapa engkau sesungguhnya menaruh senyap? Sementara tombak-tombak hujan menikam seru, payung kita selalu terombang-ambing ragu. Aku membisikkan tanya, mengulangnya entah untuk siapa. Tapi hujan-angin rusuh, kata-kataku tinggal rapuh. Jadi, dekatkan saja perasaanmu..

Kau tahu, pohon-pohon telah jadi batu, masa lalu pun tersapu hujan-gaduh itu. Kepada siapa aku harus menabalkan janji? Selain pada kenangan—mungkin selembar catatan bersamamu. Tapi hujan-rusuh dan angin-hingar, enggan mendengar rayuan. Yang kukatakan cuma gumam. Maka, dekatkan saja hatimu..

(2007)


WILAYAH MENDUNG
: Pagi murung dengan istriku...

Bahkan wajahmu tetap saja rembulan bagiku. Meski pagi mendung, kabut merundung. Kristal waktu jatuh seperti bulir-bulir padi, bernas serupa emas. Pagi ini takdir menerobos lewat genting kaca, matahari yang tersengal, seperti engkau di situ yang terpenggal. Kau adukan semua pada airmata. Dan aku, dapatkah aku setabah gunung batu? O, sayangku, cintaku, kekasihku.

Betapa dingin waktu. Ia menerobos kamar tanpa ketuk pintu. “Masih terlalu pagi untuk murung,” kataku. Tapi bagaimana aku dapat sembunyikan ragu. Matamu basah, gemuruhnya jatuh ke muara-muara. Rambutmu luruh, lambaiannya jauh ke ngarai-ngarai duka. Betapa sendunya waktu, kekasihku.

“Masih terlalu pagi untuk mendung,” kataku. Tapi bisakah aku memenjara kecewa? Memendamnya ke sebuah lubang hitam, menghimpitnya jadi zarah atom semesta. Dan suatu ketika ia meledak jadi semesta baru yang hanya cinta. Ah, betapa menyiksanya menunggu, kekasihku.

“Duh, terlalu mendung, terlalu murung,” katamu. Sajak-sajakku tersekat di udara, tak bisa menggambar apa, tak bisa menggapai mana. Namun wajahmu rembulan, tenang sedalam purnama. Dingin waktu tak pernah bisa menenggelamkannya.

(2007)


NONG DI SEBUAH TITIK

Di sebuah titik, Nong, ruang berpendar. Engkau lupa berulang tahun hari ini? Anakmu tersipu-sipu menggoda, Ibu ulang tahun ya? Engkau tertawa, di rumah ini selalu ada hadiah yang istimewa, sekristal bening cinta. Kami setuju, semua yang terkembang dan celoteh kita hanyalah cinta belaka.

Di sebuah titik, Nong, waktu memudar. Kita duduk berdua, bertatap saja, lalu percakapan ringan selembut udara. Terdengar suara jingga, anakmu berlagu, Tidurlah, selamat malam, lupakan sajalah aku.*) Lupakan, lupakan segala yang jauh dan samar. Kita bahagia, seperti sekuntum senyum, dikulum ketika beranjak tidur.

Di sebuah titik, Nong, ruang-waktu bergetar. Wajahmu beriak, aku tahu hatimu berkecipak. Aha, inikah jejak cinta! Engkau pun beranjak, Berhentilah menjebak, kakak..

Di sebuah titik, Nong, semesta cinta-Nya terus bergerak.

(16 Agustus 2007)



-----------
*) Bait lagu “Bersama Bintang” dari kelompok Drive.

Comments

Popular posts from this blog

BACA PUISI TANGISAN PADANG BERI KEINSAFAN KEPADA MASYARAKAT

Catatan Atas Sajak "Perempuan" Ready Susanto